
Oleh: Jon Hendri
Fenomena judi online kini tak lagi sekadar soal uang dan hiburan,
melainkan racun sunyi yang menggerogoti moral, meretakkan rumah tangga,
dan menumpulkan nurani bangsa.
Jon Hendri menulis refleksi ini sebagai pengingat:
bahwa teknologi tanpa iman hanyalah cahaya yang retak di dunia maya.
Di awal abad digital ini, kita menyambut kemajuan dengan tangan terbuka.
Teknologi datang membawa janji: kemudahan, kecepatan, dan keterhubungan tanpa batas.
Namun di balik gemerlap cahaya layar, ada sisi gelap yang perlahan tumbuh — sisi yang menguji akal, moral, dan iman manusia modern.
Dunia maya kini bukan hanya tempat mencari informasi, melainkan juga ruang tempat hawa nafsu berselimut algoritma.
Di sana, nilai kebaikan dan keburukan bersaing dalam sunyi.
Dan yang paling berbahaya, godaan itu tak lagi datang dari luar,
tetapi dari genggaman tangan kita sendiri.
Ketika Hiburan Menjadi Perang Batin
Judi online hanyalah satu dari sekian banyak wajah gelap dunia maya.
Ia bukan sekadar permainan angka dan peluang, melainkan racun halus yang menidurkan kesadaran dan mencuri kehidupan tanpa darah.
Jika narkoba merusak tubuh, maka judi online merusak jiwa dan rumah tangga.
Ia menggerogoti iman, menghancurkan ketenangan, dan menjerat manusia dalam lingkar candu yang tak terlihat.
Bahkan lebih parah, karena tidak berbau, tidak berbentuk, dan sering dibungkus dengan janji keberuntungan.
Yang membuatnya berbahaya bukan hanya uang yang hilang,
tetapi rasa malu yang hilang, dan kesadaran yang perlahan padam.
Ketika kekalahan dianggap biasa,
dan dosa dianggap hiburan,
maka bangsa ini sedang sakit — bukan di tangan, tetapi di hati.
Retaknya Cahaya, Retaknya Hati
Kita hidup di zaman ketika moral sering kali ditukar dengan sensasi,
dan kebenaran dipinggirkan oleh kenyamanan.
Banyak yang mengira dosa kini telah berubah rupa — padahal ia hanya berganti pakaian,
mengenakan jas digital dan parfum teknologi.
Ketika orang lebih hafal istilah “bonus deposit” daripada “rezeki halal”,
ketika malam lebih ramai oleh notifikasi ketimbang lantunan doa,
maka retaklah cahaya itu.
Cahaya yang dulu menerangi jalan kehidupan kini pecah oleh pantulan layar yang terlalu terang.
Refleksi: Menyembuhkan Luka Cahaya
Kita tidak bisa menyalahkan teknologi.
Yang perlu diperbaiki adalah cara kita menatapnya.
Teknologi hanyalah cermin — ia memantulkan siapa kita sebenarnya.
Jika hati keruh, pantulannya pun suram; jika hati jernih, layar pun menjadi cahaya yang menuntun.
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara berlebihan,
karena para pemboros itu adalah saudara-saudara setan.”
(QS. Al-Isra: 26–27)
Ayat itu kini bukan sekadar bacaan,
melainkan peringatan yang hidup di setiap klik, di setiap keputusan untuk menekan tombol “deposit”.
Karena sesungguhnya, yang dipertaruhkan bukan hanya uang, tetapi juga martabat dan iman.
Membangun Cahaya Kembali
Harapan masih ada — selama masih ada yang berani menunduk dan berdoa di tengah hiruk pikuk dunia digital.
Pendidikan moral di rumah, keteladanan dari orang tua dan guru,
serta keberanian menolak normalisasi dosa,
menjadi fondasi untuk menyalakan kembali cahaya yang mulai pudar itu.
Bangsa yang besar bukan diukur dari banyaknya gedung yang menjulang,
tetapi dari teguhnya iman di dada rakyatnya.
Dan iman itu, seperti cahaya, hanya akan bersinar bila dijaga —
tidak dibiarkan retak oleh godaan zaman.
Cahaya boleh retak, tapi tak pernah padam.
Karena selalu ada hati yang memilih kembali pada kebenaran,
dan tangan yang masih mampu menutup layar untuk membuka doa.
Jon Hendri
(Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan lembaga tempat penulis bekerja, Pemerhati Sosial dan Nilai Moral di Era Digital)


