Oleh : Kevin Eka Putra, Mahasiswa
Universitas Andalas
Dilansir dari Pemerintah Kota Bukittinggi, pembangunan jalan raya Padang-Bukittinggi dimulai pada 1833 ketika Belanda membangun jalan raya ini sebagai bagian dari upaya membangun infrastruktur di wilayah kolonialnya.
Jalan raya ini sangat penting karena menghubungkan kota Padang, yang menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan, dengan kota Bukittinggi, yang menjadi kota penting di pedalaman Minangkabau. Jalur kereta api juga dibangun pada 1890, menambahkan opsi transportasi lain untuk masyarakat.
Setelah Indonesia merdeka, jalan raya Padang-Bukittinggi terus diperbarui dan dipertahankan. Namun, dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya kebutuhan masyarakat, jalan raya ini mulai mengalami masalah seperti kerusakan dan penurunan kualitas.
Jalan Padang-Bukittinggi via Lembah Anai masih terputus hingga Senin (1/7).
Jalan ini merupakan jalan utama yang menghubungkan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Riau. Putusnya jalan ini disebabkan karena banjir bandang dan lahar dingin yang terjadi pada Sabtu (11/5) di kawasan Lembah Anai. Badan jalan di kawasan tersebut amblas, membuat jalur tersebut tidak dapat dilewati sama sekali, baik oleh orang maupun kendaraan. Perbaikan jalan tersebut diperkirakan membutuhkan waktu dua bulan, dengan target selesai pada 21 Juli 2024.
Hal ini dapat dikaji berdasarkan ilmu geofisika. Menurut Ahmad Fauzi Pohan, M. Sc., jalan utama Padang-Bukittinggi memiliki karena kondisi tanah atau batuan yang tidak kompak serta memiliki bidang gelincir. Akibatnya saat banjir bandang dan lahar dingin terjadi, energi yang tertahan akan terlepas dan menyebabkan amblesan.
Terdapat beberapa jalur alternatif yang dapat digunakan pengendara yang ingin melakukan perjalanan Padang-Bukittinggi ataupun sebaliknya, yaitu:
Via Malalak (3-4 jam)
Via Ombilin (4-5 jam)
Via Kelok 44 (5-6 jam)
Berikut beberapa jalur alternatif yang dapat digunakan pengendara yang ingin melakukan perjalanan Padang-Bukittinggi.