Oleh: Dr, (Cand). Yulisa Marhan, M. Ag. Kepala MTs Ma’had Al ikhlash Pasaman Barat

Dalam perjalanan pendidikan, sosok guru sering kali ditempatkan sebagai figur yang berwibawa dan berkuasa di dalam kelas. Namun, seiring perkembangan zaman, paradigma itu perlahan bergeser. Guru bukan lagi dianggap sebagai pihak yang harus ditakuti, melainkan sebagai sahabat belajar yang menumbuhkan rasa ingin tahu dan semangat berpikir kritis. Ketakutan bukanlah fondasi yang sehat bagi proses belajar, cinta dan rasa hormat jauh lebih bermakna dalam membangun pendidikan yang berkualitas.
Guru merupakan jembatan antara pengetahuan dan peserta didik. Dalam konteks ini, hubungan yang dibangun harus berlandaskan kepercayaan, bukan ketakutan. Siswa yang belajar karena takut dimarahi, takut mendapat nilai buruk, atau takut dipermalukan di depan kelas, tidak akan mampu mencapai potensi terbaiknya. Sebaliknya, siswa yang merasa aman dan dihargai akan tumbuh menjadi individu yang kreatif, mandiri, dan berani menyampaikan pendapat.
Dalam pandangan psikologi pendidikan, suasana emosional yang positif memiliki pengaruh signifikan terhadap kemampuan kognitif anak. Guru yang menciptakan lingkungan belajar yang penuh empati, apresiasi, dan kebersamaan akan menumbuhkan iklim kelas yang produktif. Anak-anak lebih mudah memahami pelajaran ketika hati mereka tenang, bukan ketika mereka dicekam rasa takut.
Sayangnya, di beberapa ruang kelas, masih ada praktik lama yang bertahan, guru yang keras, penuh ancaman, bahkan kadang menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk “pendisiplinan”. Paradigma seperti ini bukan hanya menimbulkan trauma, tetapi juga mematikan kreativitas siswa. Pendidikan yang sejati seharusnya mengajarkan kebebasan berpikir, bukan kepatuhan yang buta.
Menjadi guru sejati bukan tentang menunjukkan kekuasaan, melainkan tentang menanamkan nilai. Guru adalah pelita yang menerangi jalan, bukan api yang menakut-nakuti. Dalam dunia modern yang penuh tantangan, guru dituntut untuk lebih menjadi fasilitator yang membimbing dengan kasih sayang dan pemahaman terhadap karakter siswa.
Hubungan guru dan siswa idealnya bersifat dua arah. Guru belajar memahami karakter siswa, sementara siswa belajar menghargai peran guru. Ketika komunikasi ini terjalin dengan baik, maka suasana belajar yang harmonis pun tercipta. Ketakutan hanya akan menjadi penghalang bagi interaksi edukatif yang seharusnya berlangsung secara terbuka dan dialogis.
Pendidikan yang berbasis kasih sayang bukan berarti tanpa disiplin. Disiplin tetap diperlukan, tetapi dalam bentuk yang mendidik, bukan menghukum. Guru bisa menanamkan tanggung jawab melalui pembiasaan positif, bukan dengan ancaman atau hukuman fisik. Inilah bentuk disiplin yang sejati- disiplin yang melatih kesadaran, bukan kepatuhan semata.
Dalam konteks ilmu pedagogi modern, pendekatan humanistik menempatkan siswa sebagai subjek belajar, bukan objek. Artinya, siswa memiliki hak untuk didengar, dihargai, dan difasilitasi dalam proses belajar. Guru yang menakut-nakuti justru menempatkan siswa sebagai objek yang pasif, yang hanya menerima tanpa berani mengkritisi. Padahal, dunia pendidikan kini menuntut lahirnya generasi yang berani berpikir kritis dan inovatif.
Kehadiran guru yang hangat dan terbuka dapat menjadi sumber inspirasi bagi peserta didik. Seorang guru yang tersenyum, mendengarkan dengan sabar, dan memberikan apresiasi kecil atas usaha muridnya, mampu menumbuhkan semangat belajar yang luar biasa. Sering kali, bukan isi pelajaran yang diingat oleh siswa, tetapi bagaimana seorang guru memperlakukan mereka.
Ketika guru menjadi sosok yang ditakuti, kelas berubah menjadi ruang sunyi tanpa diskusi. Murid-murid menjadi pendengar yang pasif, takut salah, dan enggan berpartisipasi. Hal ini tentu bertolak belakang dengan semangat Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran aktif dan kolaboratif. Oleh karena itu, reformasi cara pandang terhadap peran guru menjadi hal yang mendesak.
Guru yang ideal bukanlah yang paling galak, melainkan yang paling menginspirasi. Sosok yang mampu membuat siswa rindu untuk belajar, bukan lega ketika jam pelajarannya usai. Karakter semacam ini dibentuk melalui empati, komunikasi yang baik, serta pemahaman mendalam terhadap dunia anak-anak.
Dalam pandangan ilmiah, hubungan positif antara guru dan siswa terbukti meningkatkan prestasi akademik. Penelitian pendidikan menunjukkan bahwa ikatan emosional yang kuat antara keduanya menciptakan motivasi intrinsik yang lebih tinggi. Murid belajar bukan karena disuruh, tetapi karena merasa dihargai dan didukung.
Guru juga memiliki peran besar dalam membentuk karakter. Ketika guru menjadi figur yang penuh kasih, anak-anak belajar meniru empati, kesabaran, dan kejujuran. Namun, bila guru menjadi sosok yang menakutkan, anak justru belajar tentang kekuasaan dan kepatuhan yang lahir dari rasa takut, bukan kesadaran.
Perubahan paradigma ini menuntut keberanian guru untuk merefleksikan dirinya. Sudahkah cara mengajarnya menumbuhkan semangat belajar? Ataukah tanpa sadar justru menanamkan ketakutan? Pertanyaan ini penting dijawab oleh setiap pendidik yang ingin membangun generasi berdaya.
Guru masa kini harus menjadi inovator pembelajaran. Ia tidak cukup hanya menyampaikan materi, tetapi juga harus menciptakan pengalaman belajar yang bermakna. Melalui pendekatan kontekstual, permainan edukatif, dan teknologi pembelajaran, suasana kelas dapat dibuat menyenangkan tanpa kehilangan esensi akademiknya.
Di era digital, siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber. Artinya, guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan. Peran guru kini lebih kepada pengarah dan pembimbing dalam memilah informasi yang benar. Dalam posisi ini, pendekatan humanis menjadi sangat penting agar guru tetap dihormati, bukan ditakuti.
Ketika guru memandang murid sebagai mitra belajar, maka lahirlah ruang dialog yang sehat. Murid bisa bertanya, berpendapat, bahkan berbeda pandangan tanpa rasa takut. Inilah yang disebut pendidikan yang memerdekakan—pendidikan yang menumbuhkan manusia seutuhnya, bukan hanya penghafal pelajaran.
Guru yang dicintai muridnya akan dikenang sepanjang hayat. Sebab cinta selalu meninggalkan jejak, sementara ketakutan hanya melahirkan jarak. Banyak tokoh besar dunia yang sukses karena pernah memiliki guru yang percaya dan mendukung mereka, bukan yang menakut-nakuti mereka dengan hukuman.
Oleh sebab itu, tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi juga membangun hati. Mengajar dengan hati berarti memahami bahwa setiap anak unik dan berharga. Ketika seorang guru mampu menumbuhkan rasa aman, maka ruang kelas menjadi taman yang menyenangkan, bukan ruang penghakiman.
Akhirnya, “seorang guru bukan untuk ditakuti” adalah seruan moral bagi dunia pendidikan. Guru seharusnya menjadi pelita yang menerangi jalan pengetahuan dengan cahaya kasih sayang. Dengan begitu, sekolah tidak lagi menjadi tempat penuh tekanan, melainkan rumah kedua yang menumbuhkan cinta dalam belajar. Sebab, pendidikan sejati selalu tumbuh dari hati yang tidak takut, tetapi penuh kasih. (*)


