
Persoalan material ilegal pada pekerjaan proyek, baik menggunakan dana APBD maupun APBN, sering mencuat kepermukaan. Namun, semuanya tertutup dan ditutup tutupi oleh mereka yang bertanggungjawab terhadap pekerjaan proyek tersebut. Ya, ada permainan berjemaah dibalik penggunaan material itu.
Tapi, tak selamanya permainan berbungkus kepalsuan, tersimpan rapi. Suatu saat pasti, akan terbongkar. Sepandai pandainya bermain, pasti ada setitik sinar menerangi tabir kegelapan dan mengungkap kebenaran. Seperti yang terjadi di Kabupaten Solok Selatan, terutama pekerjaan Embung Lasuang Batu yang menjadi tanggungjawab Balai Wilayah Sungai Sumatera ( BWSS V)
Kasus ini, terungkap dipersidangan polisi tembak polisi. Sidang digelar, Rabu (7/5) itu, terungkap proyek optimalisasi intake dan pipa transmisi air baku Embung Lasuang Solok Selatan, menjadi pemicu kasus tersebut.
Bermula saat Satreskrim Solok Selatan menangkap dua sopir truk pengangkut material pasir dan batu (Sirtu) hendak dikirim kelokasi proyek Embung Lasung Batu. Diduga material itu, berasal dari lokasi pertambangan ilegal yang tak memiliki izin resmi
Proyek Embung Lasung Batu, berada dibawah tanggungjawab Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS V), dikerjakan rekanan CV. Lammarisi, dengan nilai Rp6,8 M. Penggunaan material proyek ini, bisa membuka tabir permainan material ilegal. Dan, bisa menjadi pintu masuk, proyek lain, baik menggunakan dana APBN maupun APBD.
Pintu Masuk Proyek Lain Terindikasi Menggunakan Material Ilegal
Terbongkar tabir gelap proyek Embung Lasuang Batu, Kabupaten Solok Selatan, bakal berimbas terhadap pekerjaan proyek, baik menggunakan dana ABPN maupun APBD. Terutama pekerjaan, berkaitan dengan material yang berasal dari galian C. Selama ini sering menjadi sorotan material ilegal batu jetty, pasir, kerekel. Apalagi dalam jumlah banyak, seperti batu untuk pekerjaan krib pantai dan seawall.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, berbagai cara dimainkan, berbagai modus dilakulan. Biasanya untuk ilegal ilegal ini, ada oknum yang bermain. Termasuk, mereka yang terlibat dalam pekerjaan proyek. Baik PPK, Satker Kadis, Kepala Balai dan rekanan. Modus dilakukan, saat lelang rekanan harus mendapat dukungan dari galian c yang memiliki izin. Namun, setelah menang lelang, material digunakan tak sesuai lagi dengan surat dukungan. Dan, diambil dilokasi yang tak berizin
Begitu juga untuk pekerjaan irigasi, material batu dimanfaatkan disekitar lokasi pekerjaan. Dan, ini sering dimanfaatkan dengan dalih dibeli kepada masyarakat. Sementara, izin galian C, tak ada dilokasi tersebut.
Lagipula, dalam kontrak dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) disebutkan harga untuk pembelian material batu maupun pasir. Namun, karena diambil di lokasi pekerjaan, biasanya rekanan hanya membayar ‘uang adat’ kepada masyarakat.
Sanksi Pidana
Lalu, bagaimana saksi, terhadap rekanan mengambil ataupun membeli material tanpa izin galian c itu kepada masyarakat? Dan, bagaimana juga, sanksi terhadap penyalahgunaan surat dukungan dan material diambil dilokasi tak berizin atau ilegal
Mengacu kepada UU Nomor 4 tahun 2009, tentang Minerba, PP nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba dan UU Nomor 28 tahun 2009, tentang pajak dan retribusi, pasal 161 UU Nomor 4 tahun 2009, sudah diatur pidananya. Setiap orang menampung/pembeli, pengangkutan, pengolahan dan lain lain, maka penjata pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliyar
Intinya, kontraktor yang mengambil (material) dari tambang ilegal, itu sama dengan mengambil barang curian atau penadah. Namun, sepertinya persoalan material ilegal ini, kurang mendapat perhatian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Hanya berpegang pada surat dukungan dan tak perduli darimana material itu didapatkan. Dan, ini juga banyak terjadi pada proyek lain, termasuk pekerjaan jalan dan pembelian material untuk pengolahan Aspal Mixing Plant (AMP)
Tentu timbul pertanyaan, apakah PPK bisa ikut terlibat, sebab membiarkan rekanan menggunakan material ilegal. Mengacu kepada UU Nomor 1 tahun 2004, disebutkan juga PPK bisa terjerat hukuman, apabila terjadi mark up pekerjaan, penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), pemalsuan dokumen, kontrak/perjanjian bermasalah, serah terima pekerjaan penyimpanan dokumen dan pembayaran tagihan yang belum saatnya dibayarkan.
Artinya, pembiaran penggunaan material ilegal, berarti PPK mengabaikan kontrak/perjanjian pekerjaan. Dan, PPK bisa terjerat merestui pembelian material hasil penadahan. Makanya, PPK yang bertanggungjawab terhadap pekerjaan, harus mengawasi material yang digunakan. Jangan hanya berpedoman pada izin yang ada dalam kontrak, tapi tak melakukan pengawasan darimana material itu didatangkan. Apalagi, material yang masuk malam hari, tentu sarat misteri
Penulis
Novri Investigasi


