
Bukan ‘lagu lama’ yang berdendang sepanjang masa. Bukan puisi cinta para pujangga, mengiringi kisah asmara. Bukan pula, air tak henti mengalir di Batang Suliti. Tapi, ‘tabir gelap’ tak terlupakan sepanjang masa.’ Letusan senjata, berujung penjara’ mengiringi pekerjaan proyek Embung Lasuang Batu, Kabupaten Solok Selatan
Masih ssgar dalam ingatan kita, bencana menggetarkan jiwa. Buta mata, buta hati’ tega menembak teman satu institusi, demi material ilegal yang dilindungi. Sepertinya, tak belajar dari pengalaman memilukan, penggunaan material ilegal, terus berjalan tanpa hambatan. Apalagi, persoalan material ilegal pada pekerjaan proyek, baik menggunakan dana APBD maupun APBN, sering mencuat kepermukaan.
Namun, semuanya tertutup dan ditutup tutupi oleh mereka yang bertanggungjawab terhadap pekerjaan proyek tersebut. Ya, ada permainan berjemaah dibalik penggunaan material itu.Tapi, tak selamanya permainan berbungkus kepalsuan, tersimpan rapi. Suatu saat pasti, akan terbongkar. Sepandai pandainya bermain, pasti ada setitik sinar menerangi tabir kegelapan dan mengungkap kebenaran.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Solok Selatan, terutama pekerjaan Embung Lasuang Batu yang menjadi tanggungjawab Balai Wilayah Sungai Sumatera ( BWSS V). Kasus ini, terungkap dipersidangan polisi tembak polisi. Sidang digelar, Rabu (7/5). Pekerjaan proyek optimalisasi intake dan pipa transmisi air baku Embung Lasuang Solok Selatan, menjadi pemicu
Proyek Embung Lasung Batu, berada dibawah tanggungjawab Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS V), dikerjakan rekanan CV. Lammarisi, dengan nilai Rp6,8 M. Penggunaan material proyek ini, bisa membuka tabir permainan material ilegal. Dan, bisa menjadi pintu masuk, proyek lain, baik menggunakan dana APBN maupun APBD.
‘Pintu Masuk’ Proyek Pengendalian Batang Suliti
Terbongkar tabir gelap proyek Embung Lasuang Batu, Kabupaten Solok Selatan, bakal berimbas terhadap pekerjaan proyek, baik menggunakan dana ABPN maupun APBD. Terutama pekerjaan, berkaitan dengan material yang berasal dari galian C. Sebab, selama ini sering menjadi sorotan, termasuk proyek pengendalian banjir Batang Suliti (Tahal II) di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, senilai Rp31.867.624.000,00. Soalnya, sekarang menjadi perbincangan banyak orang.
Pasalnya, proyek strategis Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai Sumatera V Padang (SNVT PJSA Batanghari). diduga kuat menggunakan material tak bersertifikat dan BBM non-industri ilegal untuk mendukung operasional alat berat.
Proyek dikerjakan PT Daka Megaperkasa dengan masa kerja 240 hari kalender, terdengar merdu, walau tak berirama merdu,
material disebut sebut diambil langsung dari sungai dilokasi pekerjaan. Baik, itu pasir maupu batu, berdalih penggunaan material setempat.
Kalau iya benar, tentu dipertanyakan. Disamping
menyalahi aturan hukum, juga berpotensi menurunkan mutu beton. Sebab, material dari sungai tidak melalui proses uji kualitas atau gradasi sesuai ketentuan teknis.
BBM Non-Industri Diduga Dipakai untuk Alat Berat
Selain material, proyek senilai puluhan miliar rupiah ini juga diduga menggunakan BBM non-industri alias ilegal untuk alat berat dan mesin pengolahan material. Gaungnya bergema, dalam satu minggu, proyek ini diperkirakan menghabiskan sekitar 10 ton BBM, atau sekitar 40 ton per bulan. Apakah, ada dokumen resmi dari penyalur hanya tercatat sekali. Atau hanya menggunakan surat jalan palsu. Kalau iya, jelas. melanggar Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, dengan ancaman pidana 6 tahun penjara dan denda hingga Rp60 miliar.
Sekedar ilustrasi, penggunaan material sungai tanpa izin dan BBM non-industri berisiko besar terhadap mutu konstruksi dan efisiensi anggaran negara. Selain menyalahi aturan, tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara karena spesifikasi dan perhitungan biaya dalam kontrak menggunakan standar bahan resmi bersertifikat.
Biasanya untuk ilegal ilegal ini, ada oknum yang bermain. Apakah, juga terjadi pada proyek dibawah tanggungjawab Rizki, Pelaksana Teknis Dedy Arianto dan pelaksana lapangan Pakpahan. Disebut sebut, pekerjaan dilapangan, tak memenuhi standar konstuksi. Apalagi, modus dilakukan ‘lagu lama yang terus bergema. Saat lelang rekanan harus mendapat dukungan dari galian c yang memiliki izin. Namun, setelah menang lelang, material digunakan tak sesuai lagi dengan surat dukungan. Dan, diambil dilokasi yang tak berizin
Begitu juga untuk pekerjaan irigasi, material batu dimanfaatkan disekitar lokasi pekerjaan. Dan, ini sering dimanfaatkan dengan dalih dibeli kepada masyarakat. Sementara, izin galian C, tak ada dilokasi tersebut.
Lagipula, dalam kontrak dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) disebutkan harga untuk pembelian material batu maupun pasir. Namun, karena diambil di lokasi pekerjaan, biasanya rekanan hanya membayar ‘uang adat’ kepada masyarakat.
Sanksi Pidana
Jika memang terjadi, pada proyek menelan anggaran Rp31.867.624.000,00, tentu ada sanksi yang menunggu. Lalu, bagaimana saksi, terhadap rekanan mengambil ataupun membeli material tanpa izin galian c itu kepada masyarakat? Dan, bagaimana juga, sanksi terhadap penyalahgunaan surat dukungan dan material diambil dilokasi tak berizin atau ilegal
Mengacu kepada UU Nomor 4 tahun 2009, tentang Minerba, PP nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba dan UU Nomor 28 tahun 2009, tentang pajak dan retribusi, pasal 161 UU Nomor 4 tahun 2009, sudah diatur pidananya. Setiap orang menampung/pembeli, pengangkutan, pengolahan dan lain lain, maka penjata pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliyar
Intinya, kontraktor yang mengambil (material) dari tambang ilegal, itu sama dengan mengambil barang curian atau penadah. Namun, sepertinya persoalan material ilegal ini, kurang mendapat perhatian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Hanya berpegang pada surat dukungan dan tak perduli darimana material itu didapatkan. Dan, ini juga banyak terjadi pada proyek lain, termasuk pekerjaan jalan dan pembelian material untuk pengolahan Aspal Mixing Plant (AMP)
Tentu timbul pertanyaan, apakah PPK bisa ikut terlibat, sebab membiarkan rekanan menggunakan material ilegal. Mengacu kepada UU Nomor 1 tahun 2004, disebutkan juga PPK bisa terjerat hukuman, apabila terjadi mark up pekerjaan, penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), pemalsuan dokumen, kontrak/perjanjian bermasalah, serah terima pekerjaan penyimpanan dokumen dan pembayaran tagihan yang belum saatnya dibayarkan.
Artinya, pembiaran penggunaan material ilegal, berarti PPK mengabaikan kontrak/perjanjian pekerjaan. Dan, PPK bisa terjerat merestui pembelian material hasil penadahan. Makanya, PPK yang bertanggungjawab terhadap pekerjaan, harus mengawasi material yang digunakan. Jangan hanya berpedoman pada izin yang ada dalam kontrak, tapi tak melakukan pengawasan darimana material itu didatangkan. Apalagi, material yang masuk malam hari, tentu sarat misteri
Penulis
Novri Investigasi


