
Sudah menjadi anekdot, ketika masuk tahun politik. Baik itu, Pemilihan Legislatig (Pileg) maupun Pemilihan Presiden (Pilpres). Tak ada makan siang yang gratis (No free lunc). Lalu apa makna terkandung didalamnya dan apa hubungan dengan dunia politik. Sebenanya, kata bijak itu sederhana dan mudah dicerna. Terutama berkaitan dengan dunia politik.
Ya, kira kira, biaya politik itu mahal, tak bisa didapat dengan cuma cuma. Take and give, kata orang sana. Lalu, darimana asal muasal kalimat menggelitik itu dan sekarang viral didunia politik. Awalnya, No free lunc ini, muncul tahun 1800 an. Biasanya, dilakukan untuk menarik pelanggan pemilik bar. Dikupas Majalah New York Times tahun 1972, banyak di Crescen City (News Orleans) Amerika Serikat, menawarkan makan siang gratis.
Gratis itu, hanya makanan, tetapi jika ingin minum harus bayar. Intinya, berkedok gratis makanan, minuman tetap bayar. Dan, di bar itu, tertulis No Free Lunc. Begitu juga dalam bidang perekonomian, ungkapan No Free Lunc, berkaitan dengan konsep biaya peluang. Intinya, untuk setiap pilihan yang dibuar, ada alternatif tidak dipilih dan ada yang memberi manfaat.
Seperti, produk dan layanan diberikan secara gratis kepada langganan tertentu. Padahal, sebenarnya biaya ditanggung oleh orang lain. Caranya, memberikan diskon di suatu wilayah, tapi menaikkan harga diwilayah lain. Tentu, timbul pertanyaan, bagaimana hubungan istilah itu didunia politik dan adakah kesamaan dengan money politik, sebab tujuannya sama
Pertama kali dikampanyekan mantan walikota New York City Fiorella H. La Guardia. Idiom ini digunakan dalam kampanye melawan kejahatan dan korupsi. Tidak ada makan siang yang gratis itu, melakukan sesuatu dengan maksud tertentu. Ya, ada udang dibalik batu. Ibaratnya, untuk mendapatkan kekuasaan, kedudukan dan jabatan, mustahil tanpa biaya. Sebab, segalanya sesuatu harus menggunakan uang.
Lalu, bagaimana dengan Pileg 2024 ini. Dan, bagaimana dengan Caleg tak bermodal yang semuanya ingin serba gratis. Bermodal rayuan dan janji, tanpa dibekali uang untuk turun ke lapangan. Apalagi, masyarakat sudah cerdas, hanya memanfaatkan suara mereka untuk duduk sebagai dewan. Setelah duduk, berdasi, mendapat gelar dewan terhormat, segala fasilitas didapat lupa dengan rakyat.
‘Tak ada makan siang yang gratis, bro’ Itu umpatan warga saat mereka datang kelapangan tanpa membawa apa apa. Rakyat ibarat mendorong mobil mogok. Disaat mobil sudah hidup, mereka yang punya mobil langsung menekan gigi empat dan kabur meninggalkan orang yang mendorong mobil itu. Kejamkan? Sekarang, saatnya warga memanfaatkan mereka, karena rakyat sadar setelah mereka duduk, tak akan dapat apa apa. Bahkan, hanya memperkaya Caleg saja.
Ini warning bagi Caleg, kalau mau kelapangan. Kalau turun ke lapangan, duduk diwarung, bermodal rayuan saja, hanya cimeeh yang diterima dari warga. Soalnya, ketika Caleg turun ke warung dan bicara dengan warga, tentu berteman kopi dan rokok, tak mungkin duduk ‘ kariang’ saja. Kadang warga memanfaatkan situasi, ada Caleg datang, biasa pesan rokok sebatang, dimanfaatkan minta rokok sebungkus.
Karena, dalam pikiran mereka, ada Caleg yang membayar. Begitu juga, saat ada acara di kampung atau berkedok acara lainnya. Mereka mengundang Caleg, karena berharap bantuan untuk penyelenggaraan acara. Jangan harap sekedar hadir saja, tanpa membantu acara. Jangankan dapat suara, caci maki yang diterima dari warga. Pembagian sembako dan serangan fajar, tentu butuh biaya. Ya, tak ada makan siang yang gratis. Bersambung
Penulis
Novri Investigasi
Sudah menjadi anekdot, ketika masuk tahun politik. Baik itu, Pemilihan Legislatig (Pileg) maupun