Baralek urang baralek awak
Urang baralek di hari kamih
Awak baralek di hari minggu
Mancaleg urang mancaleg awak
Urang mancalek lai bapitih
Awak mancalik malapeh candu

Pesta Demokrasi, sudah didepan mata. Partai yang ikut konsestan, sibuk untuk menjaring Bakal Calon Legislatif (Bacaleg). Bahkan, ada juga partai yang membuka kesempatan untuk warga yang ingin menjadi Caleg. Ujung ujungnya, formalitas saja. Nama keluar tetap kadernya. Ya, sekedar ‘ambik muka’ seakan partai tersebut terbuka untuk warga.
Tapi, paling menarik saat, pesta lima tahunan itu, bukan petahana saja yang bertahan ikut bertarung. Ada juga mereka yang beberapa kali Caleg, namun selalu gagal kembali ikut bertarung. Partainya pun, setiap mencaleg selalu berbeda beda. Tiga kali Caleg, tiga kali gagal, itupun di tiga partai yang berbeda. Sepertinya candu Caleg sudah melekat pada dirinya. Gagal dan gagal lagi yang penting ikut serta
Peta politik kurang dikuasai. Terpenting ada partai menampung menjadi Caleg. Disebut ‘Kutu Loncat’ tak perduli. Berharap ada kapal untuk ditumpangi. Walau hanya naik di jalanan dan bermodal nekat tanpa persiapan. Sementara, mereka berhadapan dengan petaha yang bermodal pokir, bansos dana APBN dan APBD. Bukan uang saku mereka.
Itupun jumlah diterima miliyaran dan menjadi modal untuk mempertahankan kursi dewan. Petahana sudah menanamkan modal, melalui dana Pokir. Baik itu, infrastruktur, UMKM, Bansos dan lain sebagainya. Sementara, caleg candu hanya bermodal nekat saja. Berharap ada keajaiban menghampiri mereka. Entah, ada ada saja kurenah mereka.
Bohong, ikut Caleg bermodal ‘air liur’ saja. Mustahil, menjadi Caleg tanpa dana. ‘Tak ada makan siang yang gratis’ Tak ada memberi, bisa menerima. Sedikit banyak, tentu ada persiapan juga. Apalagi, lawan meteka petahana bertarung menggunakan uang negara. Kita bertarung menggunakan uang saku, itupun pas pasan saja. Bahkan, harus pinjam uang tetangga.
Sepandai apapun kita bergaul, sehebat apapun kita bercerita, mengalahkan tukang obat di Pasarraya, tanpa modal percuma saja. Membuat Alat Perlengkapan Kampanye (APK), seperti baliho, beli kayu, uang saku yang memasang, tentu harus ada. Bikin spanduk, kartu nama dan brosur, pakai uang dan tak bisa hutang. Duduk di warung sosialisasi, tentu ada uang rokok dan kopi.
Menemui warga, menghadiri acara, tentu butuh konsumsi. Apakah, semuanya itu tak perlu modal. Belum lagi, serangan pajar dan uang saksi demi mendapatkan C1. Semuanya serba uang. Dan, mereka sudah beberapa gagal, disebabkan tak bermodal, tetap nekat ikut. Mungkin saja, candu Caleg sudah melekat pada diri. Gagal dan gagal lagi, tak dipikirkan, walau hanya sekedar parami alek dan ikut kontestan. Bersambung.