Oleh : Novri Investigasi
Wartawan Utama
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung, berakibat membengkaknya biaya operasional dan kampanye, calon kepala daerah. Mulai biaya membeli biduk (mahar), alat pelengkap kampanye, operasional dilapangan, biaya saksi sampai biaya serangan pajar. Untuk calon kepala daerah provinsi, bisa mencapai puluhan miliyaran dan kota/kabupaten mencapai miliyaran.
Lalu, didana didapat uang sebesar itu? Dan, bagaimana caranya, untuk mengembalikan setelah terpilih nanti. Sebab, gaji kepala daerah meski ditambah tunjangan lain, tak akan mampu menutupinya selama lima tahun. Mengacu kepada Perpres No. 68/2001, tentang tunjangan jabatan bagi pejabat negara tertentu, kepala daerah mendapat tunjangan beras, anak istri kesehatan, berupa BPJS kesehatan hingga BPJS ketenagakerjaan.
Sementara, biaya operasional tergantung dari Pendapatan Asli Daerah. Dilihat dari besaran diterima, tak akan mampu menutupi biaya untuk bertarung pada Pilkada tersebut. Kembali ke biaya untuk pencalonan kepala daerah. Disamping ada tim untuk mendanai dengan berbagai kompensasi, setelah duduk nanti. Mencari wakil yang bermodal juga langkah strategis untuk bertarung pada mahalnya biaya Pilkada.
Kesepakatan ‘win win solusion’ mengawali pertarungan antara calon kepala daerah, wakil dan tim penyandang dana. Namun, setelah menang, masalah barupun muncul. Fee proyek jadi rebutan dan jalan untuk mengembalikan modal. Bahkan, mencari tambahan modal pada pertarungan berikutnya. Tak jarang, setahun berjalan terjadi perpecahan, karena pembagian fee proyek tak sama.
Kepala daerah ingin mendapatkan fee yang lebih besar. Sementara, wakil ikut menyuplai dana saat Pilkada, juga mengharapkan fee dan kue proyek untuk mengembalikan modal. Timses sebagai penyandang dana juga berambisi mendapatkan paket pekerjaan. Berebut kue proyek ini, menjadi sengketa berkepanjangan. Tak jarang, mereka berpisah jalan dan berseberangan, meski tetap bertahan dengan kekuasaan.
Arena berebut fee dan pembangunan infrastruktur berujung terjeratnya mereka ke ranah hukum. Faktanya, banyak kepala daerah, terjerat kasus fee proyek. Terbukti, sejak berdiri tahun 2002, hingga sekarang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) telah menangkap ratusan kepala daerah. Sebagian besar, gubernur, walikota dan bupati itu, terjerat korupsi proyek pembangunan infrastruktur didaerah masing masing.
Catatan Majalah Tempo, kepala daerah yang terjerat kasus korupsi proyek, Rudi Erawan (Bupati Halmahera Timur. Marianus Mae (Bupati Ngada). Abdul Latif (Bupati Hulu Sungai Tengah). Irwandi (Gubernur Aceh). Syafri Mulyo ( Bupati Tulang Agung). Muhammad Samanhudi Bahar (Walikota Blitar). Muzni Zakaria (Bupati Solok Selatan). Masih banyak kepala daerah lain.
Dan, tahun 2020 – 2022, beberapa kepala daerah juga terjerat kasus fee proyek maupun pembangunan infrastruktur. Meski, sudah banyak yang terjerat, tak membuat beberapa kepala daerah jera. Mengembalikan modal, menumpuk kekayaan, terus dilakukan. Fee proyek dan pembangunan infrastruktur celah yang bisa dilakukan. Karena fee dan ‘kue proyek’ terasa manis untuk dinikmati.
Catatan penulis, celah korupsi pembangunan infrastruktur itu, berawal dari tahapan perencanaan, proses lelang, hingga pelaksanaan pekerjaan. Semua sudah diatur pada tahap perencanaan dan membicarakan kepastian anggaran, komitmen fee dan pengaturan pemenang. Bahkan, kepala daerah atau timses memakai perusahaan lain untuk ikut tender dan merekayasa persyaratan lelang atau mengunci persyaratan lelang.
Bagi bagi fee pekerjaan proyek, berimbas pada mutu dan kualitas pekerjaan. Berujung, pekerjaan mankrak, tak sesuai spesifikasi teknis dan baru saja dikerjakan sudah rusak. Logikanya, dari nilai riil proyek infrastruktur 100 %, pekerjaan fisik tinggal 50 %. Sementara, 50 %, habis dibagi bagi dengan berbagai dalih. Ibaratnya, dalam perencanaan Rokok Dji Samsoe. Tapi, setelah dibagi bagi dan nilai berkurang, akhirnya uang yang tingga hanya bisa dibeli rokok Lintang Enam.
Lalu, bagaimana peran ‘kepala daerah malam’. Biasanya, kepala daerah, tak mau terlibat langsung. Mereka memanfaatkan orang dekat atau orang ketiga untuk mengatur semuanya. ‘Kepala daerah malam’ melekat pada orang dekat tersebut. Sehingga, timbul istilah rekanan, ingin menang lelang, harus dihubungi dulu ‘kepala daerah malam’. Biasanya, ‘kepala daerah malam’ ini, berkolaborasi dengan ULP dan LPSE memainkan lelang.
Kolaborasi ini yang menentukan pemenang lelang. Biasanya, rekanan ingin menang, harus setor uang muka. Wajar saja, baru baru ini, menjadi viral di medsos. Diduga salah seorang yang dekat dengan kepala daerah, mengadakan buka bersama dengan ULP dan LPSE. Terlepas hanya sekedar silaturahmi, namun konotasinya jadi beda. Karena embusan ‘kepala daerah malam’ berperan mengatur lelang, sudah berembus sebelum ada acara buka bersama itu.
Wajar saja, netizen dan rekanan menganggap miring buka bersama yang diposting dilaman FB. Kebanggaan ‘kepala daerah malam’ memposting, tanpa menyadari akan berdampak miring. Terlepas benar atau tidaknya buka bersama itu, ada indikasi lain terkait pengaturan proyek. Namun, sudah menjadi rahasia umum bagi rekanan, ‘kepala daerah malam’ tempat mereka mengadu untuk memenangkan tender
generic stromectol online – order atacand 8mg sale carbamazepine 400mg usa
isotretinoin 40mg without prescription – generic zyvox 600 mg buy generic zyvox
buy amoxil no prescription – valsartan pills combivent 100mcg brand