Oleh
Musfeptial
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Tanah merupakan hal yang penting bagi masyarakat Minangkabau.
Tanah, dalam hal ini harta pusaka menjadi identitas bagi masyarakat yang menganut sistem matrilineal ini.
Sebagai identitasi harta pusaka menjadi penting dalam kehidupan dan keberlangsungan suatu suku atau kaum.
Dalam tataran adat Minangkabau ciri suatu suku, kaum atau kelompok menjadi orang asli adalah memiliki karta pusaka (sasok jarami), pandam pakuburan, serta tapian tampek mandi. Setidaknya, tiga hal ini yang menjadi tolok ukur dalam menentrukan orang asal atau asli pada suatu tempat atau wilayah.
Kepemilikan harta pusaka pasti akan diturunkan kepada pihak kemenakan. Karena inilah yang menjadi satu di antara ciri sistem matrilineal.
Gelar dan harta pusaka diwariskan kepada kemenakan.
Sistem ini memosisikan perempuan sebagai simbol pewaris rumah gadang yang biasa disimbolkan sebagai bundo kanduang.
Sebagai harta tinggi, harta pusaka tidak bisa dibagi-bagi kepada yang berhak.
Akan tetapi, harta tersebut akan dipelihara untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya. Peran laki-laki adalah mengusahakan dan memelihara harta pusaka tersebut. Sedangkan peran perempuan memiliki harta tersebut.
Dalam ajaran adat Minangkabau disebutkan warih dijawek pusako ditolong. Artinya, harta pusaka yang diterima dari mamak oleh kemenakan harus dijaga dengan baik.
Tidak boleh diperjualbelikan.
Birik-birik tabang ka samak,
Tibo di samak mangkonyo makan,
Dari ninik turun ka ka mamak,
Dari mamak ka kamanakan.
Terjemahan
Birik-birik terbang ke semak,
Tiba di semak baru dia makan,
Dari nenek moyang turun ke paman,
Dari paman ke kemenakan.
Dalam adat Minangkabau, hanya ada empat ketentuan harta pusaka boleh digadaikan.
Pertama, mayat terbujur di tengah rumah gadang; kedua, gadih (perempuan) gadang indak balaki; ketiga, managakkan penghulu, dan keempat, rumah gadang ketirisan (bocor, rusak).
Dengan aturan ini, sangat jelas bahwa sangat ketat aturan menggadaikan harta pusaka di Minagkabau.
Dengan demikian, dalam aturan adat jelas bahwa harta pusaka hanya bisa digadaikan dan itupun dengan syarat yang ketat. Berarti harta pusaka tidak boleh djual.
Namun demikian, muncul pertanyaan bagaimana fenomena harta pusaka pada saat ini.
Masihkah semua masyarakat Minangkabau patuh dan taat pada aturan tersebut.
Kenyataan pada saat ini, terjadi pergeseran di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.
Jangankan menggadai, harta pusaka sudah menjadi hal yang lumrah diperjualbelikan oleh sebagian masyarakat Minangkabau (tidak semua orang Minang).
Tidak ada lagi rasa malu bagi sebagian masyarakat Minangkabau menjual harta pusaka mereka. Yang dimaksud dengan harta pusaka di sini adalah harta pusaka tinggi yang diwariskan secara turun temurun.
Dengan demikian terjadi perubahan prilaku masyarakat dalam memaknai harta pusaka tinggi. Ataukah mamak yang sudah mulai kehilangan tuahnya..atau kemenakan yang sudah memiliki pawer yang bisa mengatur mamaknya.
Atau ada aspek lain, seperti lunturnya pemahaman adat bagi sebagian masyarakat kita.
Tentu perlu kajian mendalam terhadap fenomena ini.