
Oleh: Anggota DPRD Pasbar, Yondrizal
Pembangunan Nagari adalah ujung tombak dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah telah memberikan porsi besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Dana Desa (DD), termasuk di dalamnya kebijakan ketahanan pangan sebagaimana tertuang dalam Kepmendesa 82 Tahun 2022 Tentang Pedoman Ketahanan Pangan di Desa/Nagari
Tujuan utamanya jelas untuk meningkatkan ketersediaan pangan baik dari hasil produksi masyarakat Desa maupun dari lumbung pangan Desa, meningkatkan keterjangkauan pangan bagi warga masyarakat Nagari dan meningkatkan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman, higienis, bermutu, tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, serta berbasis pada potensi sumber daya local.
Semua itu tentu berimplikasi kepada kemandirian pangan di nagari, serta membebaskan nagari dari ancaman kerawanan pangan. Namun, fakta di lapangan justru memperlihatkan kebijakan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Di Kabupaten Pasaman Barat, masyarakat sering mengeluhkan tidak adanya dampak nyata dari program ketahanan pangan yang didanai oleh DD. Anggaran besar yang dikucurkan seolah menguap tanpa hasil yang jelas. Yang terlihat justru pembangunan fisik tanpa keberlanjutan, sekadar menghabiskan anggaran tanpa memperhatikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Perangkat nagari yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam pengelolaan program ini justru banyak yang bermental rakus. Kepentingan pribadi dan kelompok lebih diutamakan dibanding kepentingan masyarakat. Transparansi anggaran minim, pengawasan lemah, dan pertanggungjawaban nyaris tak terdengar. Akibatnya, program yang seharusnya menjadi solusi justru diasumsikan menjadi ladang korupsi bagi segelintir elit nagari.
Tidak jarang ditemukan proyek ketahanan pangan yang hanya berjalan setengah jalan. Setelah bangunan berdiri, pengelolaannya mandek, tidak berkembang, dan tahun berikutnya diajukan lagi program baru tanpa perencanaan yang matang. Ini bukan pembangunan, ini pemborosan!
Sangat diharapkan tindakan tegas dari inspektorat, aparat penegak hukum, Kejaksaan dan Tipikor sehingga tidak ada celah untuk mereka dalam pemanfaatan anggaran DD dan ADN yang ada di nagari. Jika terus begini, patut diduga DD hanya akan menjadi sumber kekayaan bagi segelintir orang, sementara masyarakat tetap berkutat dengan masalah pangan yang tak kunjung selesai.
Padahal, Perpres 104 Tahun 2021 telah menetapkan bahwa minimal 20% dari Dana Desa harus digunakan untuk ketahanan pangan dan hewani. Ini bukan sekadar himbauan, melainkan perintah! Namun, bagaimana bisa tujuan ini tercapai jika pelaksana di lapangan justru sibuk mencari celah untuk memperkaya diri? Jika dibiarkan, ketahanan pangan nagari hanya akan menjadi mitos, sementara krisis pangan menjadi kenyataan yang harus dihadapi masyarakat.
Ketidakbecusan perangkat nagari dalam mengelola anggaran harus segera diakhiri. Jika mereka tidak mampu, lebih baik mundur! Jangan jadikan jabatan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan pribadi. Pemerintah pusat sudah bekerja keras memastikan kesejahteraan rakyat, tetapi di tingkat nagari, program ini justru dijadikan alat manipulasi.
Masyarakat juga harus lebih berani bersuara. Jangan takut untuk mengkritik kebijakan nagari yang tidak berpihak pada rakyat. Jika dana miliaran rupiah tidak memberikan manfaat nyata, maka sudah sepatutnya dipertanyakan kemana uang itu mengalir? Jangan biarkan para pemangku kepentingan (decision maker) di nagari bekerja tanpa pengawasan, karena tanpa kontrol masyarakat, mereka akan semakin leluasa bermain dengan anggaran.
Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah memperketat audit terhadap penggunaan Dana Desa. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus bisa dipertanggungjawabkan secara transparan, akubtabel, efektif dan efisien. Jika ada penyimpangan, harus ada sanksi tegas. Jangan biarkan pejabat nagari yang korup tetap berkuasa tanpa konsekuensi.
Selain itu juga merupakan beban berat bupati berikutnya dan harus mengambil langkah tegas dalam mengawasi penggunaan Dana Desa. Pemilihan wali nagari (Pilwana) sangat perlu di lakukan, setelah Wali nagari terpilih peleburan perangkat nagari juga sangat perlu di lakukan agar memberikan kesempatan untuk warga yang lain merasakan menjadi perangkat nagari. Apalagi sebanyak 87 Nagari di Pasbar, masih di pangku oleh PJ.
Pengawasan nagari Jangan hanya sekadar seremonial, tetapi benar-benar turun ke lapangan untuk memastikan bahwa setiap program yang didanai dari uang rakyat benar-benar bermanfaat bagi rakyat. Jika perlu, copot wali nagari dan perangkat yang terbukti gagal atau terindikasi melakukan penyimpangan.
Jika tidak ada perubahan, maka Dana Desa akan terus menjadi ajang memperkaya diri. Sementara masyarakat tetap dibiarkan berjuang sendiri menghadapi kesulitan pangan. Ini bukan sekadar ketidakmampuan, tetapi kejahatan terhadap kesejahteraan rakyat. Mereka yang menyalahgunakan anggaran ini harus diseret ke meja hijau dan dihukum seberat-beratnya.
Regulasi juga perlu diperketat agar ada mekanisme pengawasan yang lebih efektif. Tidak cukup hanya dengan laporan di atas kertas, tetapi harus ada sistem evaluasi yang ketat dan berbasis data nyata di lapangan. Jika ada program yang gagal, harus ada pertanggungjawaban yang jelas. Jika ada penyimpangan, harus ada hukuman yang setimpal.
Pembangunan Nagari yang berkelanjutan tidak akan pernah terwujud jika praktik korupsi terus merajalela di tingkat nagari. Jangan biarkan nagari-nagari kita dikelola oleh orang-orang yang hanya peduli pada kantong sendiri. Ketahanan pangan adalah hak rakyat, bukan proyek untuk memperkaya segelintir pejabat nagari
Jika pemerintah, masyarakat, dan penegak hukum tidak segera bertindak, maka jangan heran jika di masa depan, nagari-nagari kita akan terus dilanda krisis pangan. Dana Desa harus dikelola dengan jujur, transparan, dan berorientasi pada keberlanjutan (sustainable). Jika tidak, maka kita hanya akan terus melihat pembangunan yang sekadar tampilan tanpa substansi.(#)