
Oleh: Adinda Caessari Fitri, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas
Padang – Peran media dalam membentuk opini publik terhadap suatu kasus hukum kembali menjadi sorotan. Kali ini, perhatian tertuju pada polemik antara hukum adat dan hukum negara yang menimbulkan beragam perdebatan di masyarakat.
Kasus ini menjadi semakin kompleks ketika praktik adat yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) mendapatkan pembelaan dari sebagian pihak, sementara kelompok lain menuntut adanya reformasi hukum.
Media, sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki pengaruh besar dalam membentuk narasi yang berkembang di masyarakat. Dalam beberapa kasus, media menjadi instrumen utama dalam menekan aparat hukum untuk bertindak lebih cepat dan transparan. Hal ini juga terjadi dalam polemik hukum adat, di mana opini media menjadi arena perdebatan yang mencerminkan beragam perspektif masyarakat.
“Media memiliki kekuatan untuk menyoroti ketimpangan dalam sistem hukum. Dalam konteks hukum adat, media bisa menjadi jembatan antara kepentingan masyarakat adat dan prinsip hukum nasional yang harus ditegakkan,” ujar Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara.
Kasus ini bermula ketika salah satu praktik adat yang masih diterapkan di beberapa wilayah dinilai bertentangan dengan prinsip HAM. Beberapa media konservatif menyuarakan pentingnya mempertahankan hukum adat sebagai bagian dari identitas budaya, sementara media progresif menekankan aspek perlindungan individu dalam sistem hukum nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai pemberitaan yang menggugah kesadaran publik tentang dampak hukum adat terhadap individu, terutama perempuan dan anak-anak. Praktik seperti kawin tangkap dan pernikahan dini menjadi contoh kasus yang kerap mendapat sorotan media. Akibatnya, banyak pihak mendesak pemerintah untuk segera bertindak dan melakukan revisi terhadap kebijakan yang memungkinkan praktik tersebut terus berlangsung.
Namun, tidak semua ahli sepakat dengan pandangan bahwa hukum adat harus sepenuhnya dihapuskan. Soetandyo Wignjosoebroto, seorang antropolog hukum, menilai bahwa hukum adat tidak bersifat statis dan dapat berkembang sesuai dengan dinamika sosial.
“Hukum adat harus dipertimbangkan dalam konteks sosialnya, bukan hanya dinilai berdasarkan standar hukum negara,” katanya.
Dalam diskusi akademik yang digelar pekan lalu, beberapa pakar hukum menyebut bahwa media terkadang tidak bersikap netral dalam menyajikan informasi. Beberapa media justru dianggap memperkeruh situasi dengan menyajikan berita yang terlalu berpihak pada salah satu perspektif.
“Pemberitaan yang tidak berimbang dapat menciptakan trial by media, di mana seseorang atau kelompok tertentu sudah dihakimi oleh publik sebelum ada putusan resmi dari pengadilan,”yang juga pernah di ungkapkan Todung Mulya Lubis, ahli hukum HAM.
Pemerintah sendiri telah merespons tekanan publik dengan membentuk tim khusus untuk mengkaji berbagai kasus pelanggaran HAM yang berbasis hukum adat. Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan praktik yang melanggar hak individu terus berlangsung.
“Kami menghormati hukum adat, tetapi negara tetap harus hadir untuk melindungi warganya,” tegasnya.
Di sisi lain, beberapa komunitas adat merasa bahwa media terlalu menyoroti aspek negatif hukum adat tanpa memahami nilai-nilai yang mendasarinya. Seorang tokoh adat dari Nusa Tenggara Barat menyebut bahwa pemberitaan media sering kali tidak menggambarkan konteks budaya secara utuh.
“Banyak tradisi yang kami pertahankan bukan karena melawan hukum, tetapi karena itu bagian dari identitas kami,” ujarnya.
Dalam perkembangannya, opini media juga telah memengaruhi kebijakan publik. Beberapa daerah mulai melakukan revisi terhadap aturan adat mereka agar lebih selaras dengan prinsip HAM. Salah satu contohnya adalah kebijakan di Papua yang mulai melarang praktik kawin tangkap setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak, termasuk media dan organisasi hak asasi manusia.
Selain itu juga Pakar komunikasi, Eko Prasetyo, menilai bahwa media harus lebih bijak dalam menyajikan isu-isu sensitif seperti ini.
“Media harus berperan sebagai fasilitator diskusi, bukan sekadar alat untuk menekan salah satu pihak,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya literasi media bagi masyarakat agar mereka bisa memahami berbagai perspektif sebelum membentuk opini.
Sementara itu, beberapa media justru menganggap bahwa peran mereka dalam menyoroti kasus ini sudah sesuai dengan fungsi kontrol sosial yang mereka emban.
“Kami tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga berupaya untuk mengedukasi publik tentang pentingnya reformasi hukum yang lebih adil,” kata salah satu editor media nasional.
Polemik antara hukum adat dan hukum negara kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Kasus terbaru yang mencuat di berbagai media massa menyoroti ketegangan antara komunitas adat dengan pemerintah daerah terkait kepemilikan tanah ulayat. Meskipun telah ada berbagai upaya mediasi, kedua belah pihak masih mengalami kesulitan dalam menemukan titik temu.
Dalam sebuah wawancara dengan seorang akademisi hukum dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa
“hukum adat adalah sistem hukum yang hidup di tengah masyarakat dan memiliki nilai-nilai yang terus berkembang.” Sebutnya
Namun, di sisi lain, hukum negara memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara formal dan mengedepankan kepastian hukum.
Realitas ini menunjukkan bagaimana tumpang tindih peraturan sering kali menjadi sumber konflik di berbagai daerah. Contohnya, di Kalimantan dan Sumatra, beberapa komunitas adat menghadapi kendala dalam mempertahankan hak atas tanah mereka karena pemerintah menganggap tanah tersebut sebagai bagian dari kawasan hutan negara.
Dalam kasus ini, pertanyaan utama yang muncul adalah: siapa yang berhak atas tanah tersebut?
Menurut data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), lebih dari 7 juta hektare tanah adat di Indonesia belum memiliki sertifikasi resmi. Hal ini memperumit status kepemilikan dan berpotensi menimbulkan sengketa antara masyarakat adat dan pihak pemerintah maupun swasta yang ingin mengembangkan kawasan tersebut.
Dari perspektif teori hukum, John Austin dalam konsep positivisme hukumnya menyatakan bahwa hukum adalah perintah yang dikeluarkan oleh otoritas yang berdaulat. Dengan kata lain, hukum negara memiliki posisi lebih kuat dibanding hukum adat yang tidak selalu memiliki legitimasi formal. Namun, teori hukum hidup (living law) yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich berargumen bahwa hukum yang benar-benar berlaku adalah hukum yang hidup di masyarakat dan dijalankan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pendapat lain datang dari pakar hukum adat, Peter Mahmud Marzuki, yang menyatakan bahwa “hukum tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan dari masyarakat dan sistem sosialnya. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan yang lebih humanis dalam menyelesaikan perbedaan antara hukum adat dan hukum negara.”
Peristiwa ini berawal dari kebijakan pemerintah yang menetapkan beberapa kawasan adat sebagai bagian dari proyek strategis nasional. Komunitas adat yang merasa memiliki hak turun-temurun atas wilayah tersebut melakukan aksi protes, sementara pihak pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini dilakukan demi kepentingan pembangunan.
Siapa yang sebenarnya memiliki otoritas dalam mengatur tanah adat menjadi pertanyaan yang terus diperdebatkan. Para ahli hukum mengusulkan bahwa pendekatan yang lebih inklusif diperlukan agar kebijakan yang diambil tidak merugikan komunitas adat yang telah lama menetap di wilayah tersebut.
Sejumlah organisasi non-pemerintah (NGO) seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga turut bersuara dalam isu ini. Mereka menilai bahwa pengakuan terhadap tanah adat belum dilakukan secara optimal oleh negara dan masih banyak terjadi kasus perampasan tanah yang merugikan masyarakat adat.
Dari aspek sosial, konflik ini memunculkan dampak besar bagi masyarakat setempat. Tidak hanya ancaman kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, tetapi juga potensi terjadinya perpecahan sosial di antara sesama warga desa yang memiliki pandangan berbeda terhadap kebijakan pemerintah. Berdasarkan wawancara dengan beberapa tokoh adat, mereka menginginkan agar pemerintah lebih mendengar suara komunitas lokal sebelum mengambil keputusan besar. “Kami tidak menolak pembangunan, tetapi harus ada mekanisme yang adil dan tidak merugikan kami,” ujar salah satu pemuka adat dari Papua.
Dari aspek ekonomi, sengketa tanah ini juga berimbas pada sektor investasi. Banyak investor yang enggan menanamkan modalnya di daerah yang masih memiliki konflik lahan, karena khawatir terhadap ketidakpastian hukum dan potensi sengketa yang berkepanjangan.
Sebagai solusi, beberapa akademisi mengusulkan pendekatan hybrid antara hukum adat dan hukum negara. Model ini mengakomodasi prinsip-prinsip hukum adat dalam kerangka regulasi nasional sehingga kedua sistem hukum dapat berjalan berdampingan.
Seorang pengamat kebijakan publik, Dr. Bambang Widodo, menyarankan agar pemerintah membentuk lembaga khusus yang menangani sengketa tanah adat secara lebih terstruktur. Lembaga ini diharapkan dapat menjadi jembatan antara komunitas adat dan pemerintah dalam menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih transparan dan berkeadilan.
Dalam beberapa kasus di luar negeri, seperti di Kanada dan Australia, penyelesaian sengketa tanah adat telah dilakukan melalui mekanisme hukum yang lebih jelas. Di sana, pemerintah memberikan hak hukum yang lebih kuat kepada komunitas adat dengan menetapkan zona khusus yang dilindungi secara legal.
Indonesia sendiri telah memiliki beberapa regulasi yang mengakomodasi hak masyarakat adat, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Namun, implementasi dari regulasi ini masih menghadapi berbagai hambatan, termasuk birokrasi yang berbelit dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Meskipun polemik ini belum menemukan titik terang, perdebatan yang terjadi menunjukkan bahwa media memiliki peran sentral dalam membentuk opini publik terhadap isu-isu hukum dan sosial. Ke depan, tantangan bagi media adalah bagaimana mereka dapat menyajikan informasi secara objektif dan berimbang tanpa terjebak dalam bias ideologi atau kepentingan tertentu.
Dalam konteks demokrasi, transparansi dalam pengambilan kebijakan menjadi hal yang sangat penting. Jika masyarakat memiliki akses terhadap informasi yang jelas dan akurat, mereka dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dengan lebih aktif.
Pada akhirnya, penyelesaian konflik ini membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, komunitas adat, akademisi, hingga masyarakat sipil.
Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Masyarakat adat juga perlu memperkuat posisi mereka dengan melakukan advokasi berbasis data agar memiliki dasar yang lebih kuat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Sebagai langkah konkret, mediasi yang melibatkan berbagai pihak dapat menjadi salah satu solusi jangka pendek untuk mengurangi ketegangan. Dalam jangka panjang, reformasi kebijakan agraria dan penguatan hukum adat dalam sistem hukum nasional menjadi hal yang tidak dapat dihindari.
Dengan dinamika yang terus berkembang, peran media dalam kasus ini akan terus menjadi bahan kajian bagi banyak pihak. Keputusan yang diambil, baik oleh pemerintah maupun komunitas adat, kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh opini yang berkembang di ruang publik.
“Kita harus memastikan bahwa reformasi hukum yang dilakukan benar-benar untuk kepentingan bersama, bukan sekadar reaksi atas tekanan media,” pungkas Dr. Aartje Tehupeiory, pengamat hukum agraria.
Pada akhirnya, keseimbangan antara pembangunan nasional dan pelestarian hak-hak adat harus tetap dijaga. Dengan demikian, harmoni sosial dapat tercipta tanpa mengorbankan kepentingan salah satu pihak secara sepihak.(*)