Tak terbantahkan, penggunaan material ilegal masih banyak terjadi pada pekerjaan proyek. Baik itu, proyek menggunakan dana APBN maupun APBD. Parahnya, biasanya untuk pekerjaan di sungai, irigasi, pengamanan pantai/krib pantai seawall, material sering dimainkan. Terutama batu jetty dan pasir.
Modusnya, saat lelang rekanan harus mendapat dukungan dari galian c yang memiliki izin. Namun, setelah menang lelang, material digunakan tak sesuai lagi dengan surat dukungan. Dan, diambil dilokasi yang tak berizin. Begitu juga untuk pekerjaan irigasi, material batu dimanfaatkan disekitar lokasi pekerjaan.
Dan, ini sering dimanfaatkan dengan dalih dibeli kepada masyarakat. Sementara, izin galian C, tak ada dilokasi tersebut.
Lagipula, dalam kontrak dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) disebutkan harga untuk pembelian material batu maupun pasir.
Namun, karena diambil di lokasi pekerjaan, biasanya rekanan hanya membayar ‘uang adat’ kepada masyarakat. Lalu, bagaimana saksi, terhadap rekanan mengambil ataupun membeli material tanpa izin galian c itu kepada masyarakat? Dan, bagaimana juga, sanksi terhadap penyalahgunaan surat dukungan dan material diambil dilokasi tak berizin atau ilegal
Mengacu kepada UU Nomor 4 tahun 2009, tentang Minerba, PP nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba dan UU Nomor 28 tahun 2009, tentang pajak dan retribusi, pasal 161 UU Nomor 4 tahun 2009, sudah diatur pidananya. Setiap orang menampung/pembeli, pengangkutan, pengolahan dan lain lain, maka penjata pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliyar
Intinya, kontraktor yang mengambil (material) dari tambang ilegal, itu sama dengan mengambil barang curian atau penadah. Namun, sepertinya persoalan material ilegal ini, kurang mendapat perhatian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Hanya berpegang pada surat dukungan dan tak perduli darimana material itu didapatkan. Dan, ini juga banyak terjadi pada proyek lain, termasuk pekerjaan jalan dan pembelian material untuk pengolahan Aspal Mixing Plant (AMP)
Tentu timbul pertanyaan, apakah PPK bisa ikut terlibat, sebab membiarkan rekanan menggunakan material ilegal. Mengacu kepada UU Nomor 1 tahun 2004, disebutkan juga PPK bisa terjerat hukuman, apabila terjadi mark up pekerjaan, penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), pemalsuan dokumen, kontrak/perjanjian bermasalah, serah terima pekerjaan penyimpanan dokumen dan pembayaran tagihan yang belum saatnya dibayarkan.
Artinya, pembiaran penggunaan material ilegal, berarti PPK mengabaikan kontrak/perjanjian pekerjaan. Dan, PPK bisa terjerat merestui pembelian material hasil penadahan. Makanya, PPK yang bertanggungjawab terhadap pekerjaan, harus mengawasi material yang digunakan. Jangan hanya berpedoman pada izin yang ada dalam kontrak, tapi tak melakukan pengawasan darimana material itu didatangkan. Apalagi, material yang masuk malam hari, tentu sarat misteri
Penulis
Novri Investigasi
Wartawan Utama