Suara-suara lantang Epyardi Asda menghiasi Sumatera Barat 3 tahun belakangan ini. Berbagai kesempatan viral sosok Bupati Solok yang sukses menjadi saudagar minang yang disegani di Indonesia.
Namun sebagian publik luput menyadari bahwa, kelantangan suara Epyardi Asda selalu tertuju kepada elit yang merugikan rakyatnya.
Di urut catatan viral Epyardi : kemarahannya terhadap petugas Puskemas yang menelantarkan pasien kritis. Kemarahannya, karena ratusan anak nagari dipecat perusahaan besar malah perusahaan dibela Gubernur. Keberaniannya memecat walinagari yang ditemukan keliru mengelola keuangan nagari berulang kali.
Viral ketegasannya menghadapi politisi Bachtul yang komplain istrinya diberhentikan sebagai Tenaga Harian Lepas. Dimana menurut Bupati, istri Bachtul tak layak mendapatkan posisi itu. Sebab masih ada anak nagari yang membutuhkan. Sedangkan Bachtul kehidupannya diatas kata layak, pengusaha bahkan mampu membelanjakan uang untuk menjadi caleg provinsi.
Jadi, jika dirunut fenomena kelantangan suara dan ketegasan sikap Epyardi Asda, maka kita menemukan benang merah, ia lantang membela hak rakyatnya, tak nampak sekalipun ia marah kepada rakyatnya, ia hanya marah kepada elit-elit yang menghambat langkahnya mensejahterakan rakyat.
Berbeda dengan Mahyeldi, lunak-lunak tetapi pemerintahannya sarat dengan korupsi, lunak-lunak tetapi tak ada hasil kerja, Sumbar terus menggali lobang menjadi provinsi tertinggal.
Kita rakyat hanya disuguhkan pencitraan Mahyeldi, jika ditanya ia irit bicara. Irit bicara karna tak paham apa yang hendak dikerjakan, terpaksa me-angguk-angguk saja.
Jika tak sadar untuk berubah, begini-begini saja kita terus sampai tua.
