Haram Memilih Bupati yang Jual Beli Jabatan: Sebuah Kajian Etis dan Agama

Spread the love

Oleh Adma Sadli, SH, MH

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, salah satu isu yang sering muncul adalah praktik jual beli jabatan. Fenomena ini bukan hanya melanggar norma hukum, tetapi juga menimbulkan konsekuensi moral dan spiritual yang berat. Memilih seorang bupati yang terlibat dalam praktik ini dapat menjadi dosa besar bagi si pemilih, sebagaimana diajarkan dalam ajaran agama.

Praktik jual beli jabatan bertentangan dengan prinsip keadilan yang diajarkan dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil” (QS. An-Nisa: 58). Dalam konteks ini, memilih pemimpin yang korup adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang harus diemban oleh seorang pemimpin.

Dalam hadis, Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya integritas dalam kepemimpinan. Beliau bersabda, “Setiap pemimpin adalah penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya” (HR. Bukhari). Oleh karena itu, memilih pemimpin yang tidak memenuhi kriteria kejujuran dan integritas adalah tindakan yang keliru dan dapat menjerumuskan pemilih ke dalam dosa.

Jual beli jabatan menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat. Ketika seorang bupati terpilih melalui praktik korupsi, ia cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, daripada memperhatikan kebutuhan rakyat. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Ma’un: “Apakah kamu melihat orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.” Ketidakadilan ini akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat secara keseluruhan.

Lebih lanjut, memilih pemimpin yang korup dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan, mereka akan enggan untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Hal ini menciptakan siklus negatif yang sulit diputus, karena masyarakat merasa suaranya tidak berarti dan tidak ada harapan untuk perbaikan.

Dalam konteks ini, para ulama telah memberikan penegasan bahwa memilih pemimpin yang terlibat dalam praktik tidak etis adalah haram. Dalam kitab-kitab fiqh, tindakan memilih pemimpin yang korup dikategorikan sebagai dosa besar. Mengapa? Karena hal ini berpotensi merugikan banyak orang dan menghancurkan tatanan sosial.

Praktik jual beli jabatan juga berimplikasi pada kualitas kepemimpinan. Seorang pemimpin yang tidak melalui proses yang benar cenderung kurang kompeten dan tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini dapat berakibat pada kebijakan yang salah dan merugikan masyarakat. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan jika kamu memutuskan, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil” (QS. Al-Ma’idah: 42).

Dari sisi sosial, memilih pemimpin yang terlibat dalam korupsi dapat mengarah pada kemiskinan dan ketidakadilan. Ketika anggaran daerah digunakan untuk kepentingan pribadi, fasilitas umum dan layanan dasar bagi masyarakat akan terabaikan. Dalam hal ini, masyarakat yang memilih pemimpin korup turut berkontribusi pada penderitaan mereka sendiri.

Selain itu, ada tanggung jawab moral bagi setiap individu dalam memilih pemimpin. Memilih bukan hanya sekadar hak, tetapi juga amanah. Dalam konteks ini, setiap pemilih perlu memahami konsekuensi dari pilihannya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu itu akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (QS. Sad: 26).

Lebih lanjut, para ahli etika mengingatkan bahwa tindakan memilih harus didasari oleh nilai-nilai moral yang tinggi. Memilih pemimpin yang bersih dari praktik korupsi adalah salah satu bentuk tanggung jawab sosial. Mengabaikan prinsip ini berarti merelakan diri untuk terjerumus dalam dosa.

Dari perspektif sejarah, banyak contoh di mana pemimpin yang terpilih melalui jalur korupsi akhirnya membawa kehancuran bagi rakyatnya. Oleh karena itu, memilih pemimpin yang jujur dan adil menjadi kunci untuk menciptakan pemerintahan yang baik.

Kesimpulannya, memilih bupati yang terlibat dalam jual beli jabatan bukan hanya tindakan yang melanggar hukum, tetapi juga merupakan dosa besar dalam pandangan agama. Setiap pemilih harus menyadari betapa pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas dan mampu menjalankan amanah dengan baik. Dalam hal ini, kesadaran dan tanggung jawab sosial menjadi landasan bagi terciptanya pemerintahan yang adil dan sejahtera.

Mari kita bangun kesadaran kolektif untuk memilih pemimpin yang dapat membawa perubahan positif, bukan hanya untuk diri kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.(*)

More From Author

Nagari Talang Babungo, Top 10 Penerima Sertifikat Penghargaan dari Kementerian Hukum dan HAM

Bayar Pajak Kendaraan Kini Bisa Melalui Aplikasi Signal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ADVERTISEMENT