Penulis : Innayah Fadia Nafissania
Departemen Fisika Universitas Andalas

Polusi udara telah menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan ekosistem dunia sejak lama.
Menurut laporan The State of Global Air 2024, telah terjadi 8.1 juta kasus kematian per tahun 2021 yang diakibatkan oleh peningkatan polusi udara dan 700.000 diantaranya adalah kasus kematian anak dibawah umur 5 tahun, menjadikannya faktor kedua paling berbahaya penyebab kematian secara global.
Polusi udara dapat berasal dari emisi antropogenik maupun sumber alami. Namun, faktor yang menentukan seberapa parah polusi tersebut tertahan di permukaan bumi ternyata tidak hanya bergantung pada emisi, melainkan juga pada dinamika lapisan atmosfer terendah yang disebut planetary boundary layer (PBL).
Dosen Fisika Atmosfer di Universitas Andalas, Mutya Vonnisa (18/3/24) berpendapat lapisan PBL memainkan peran penting dalam bagaimana polusi udara terdistribusi, dan ketebalan serta stabilitasnya dapat memengaruhi seberapa besar dampak polusi udara terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Planetary Boundary Layer (PBL) atau lapisan batas planet merupakan lapisan atmosfer terendah yang bersentuhan langsung dengan permukaan bumi, dengan ketebalan 0,1-2 km.
Lapisan ini memiliki karakteristik yang sangat dinamis: pada siang hari lapisan ini akan mengembang, memungkinkan terjadinya transportasi polutan secara vertikal, sementara pada malam hari lapisan ini akan menyusut dan menjebak polutan pada lapisan tersebut memungkinkan peningkatan polusi udara di permukaan pada malam hari.
Studi terbaru mengungkap bahwa interaksi antara PBL dan polutan udara memainkan peran krusial dalam menentukan konsentrasi polusi di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Sebuah studi dalam Environmental Science & Technology menyatakan bahwa ketebalan PBL berkorelasi negatif dengan konsentrasi PM2.5 di kota-kota besar Asia.
Artinya, semakin tipis PBL, semakin tinggi tingkat polusi partikel halus. Studi ini juga menyoroti peran inversi suhu (lapisan udara hangat di atas udara dingin) yang memperburuk kondisi dengan menekan pertumbuhan PBL.
Studi lain dalam jurnal Atmospheric Chemistry and Physics mengamati bahwa variasi musiman PBL memengaruhi pola polusi di Eropa. Pada musim dingin, PBL yang stabil dan rendah menyebabkan akumulasi polutan hingga 40% lebih tinggi dibandingkan musim panas.
Selain itu, faktor urbanisasi dan perubahan iklim turut mengambil andil dalam memperburuk dampak polusi. Urbanisasi tidak hanya meningkatkan emisi, tetapi juga mengubah struktur PBL.
Menurut studi dalam Science of the Total Environment, gedung-gedung tinggi dan permukaan beton di perkotaan menghambat aliran udara, mengurangi turbulensi di PBL, dan memperlambat dispersi polutan. Hal ini diperparah dengan adanya perubahan iklim yang memicu peningkatan frekuensi kejadian inversi suhu.
Di sisi lain, penelitian terbaru dari Nature Communications menunjukkan bahwa pemanasan global dapat memperdalam PBL di beberapa wilayah, namun efek ini tidak seragam.
Di daerah tropis, peningkatan kelembapan justru mempercepat pembentukan awan yang menstabilkan PBL, memerangkap polusi di permukaan.
Temuan-temuan tersebut mempertegas bagaimana pentingnya mempelajari dan mempertimbangkan faktor meteorologi dalam strategi pengurangan polusi secara global.
Misalnya, pembatasan emisi selama periode PBL tipis (seperti pagi hari) bisa lebih efektif. Selain itu, perencanaan kota perlu mengintegrasikan “koridor angin” untuk meningkatkan ventilasi alami, sebagaimana diterapkan di Korea, Singapura dan Copenhagen.
Sementara sebagai masyarakat hal yang dapat dilakukan adalah merubah gaya hidup dan peningkatan tindakan pengurangan emisi seperti menggunakan transportasi ramah lingkungan, penggunaan transportasi umum, penggunaan energi bersih dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang dapat memicu peningkatan emisi.
Dengan adanya langkah-langkah ini diharapkan kita dapat membantu meningkatkan kualitas udara dan juga menciptakan lingkungan hidup yang lebih sehat dan berkesinambungan.