Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Manuskrip. Literatur, dan Tradisi Lisan-BRIN

Kata pusaka (tinggi) menyimpan arti yang sakral, yaitu amanah. Ia harus dijaga agar sumber daya, dan memori serta harga diri tetap ada. Namun, pusaka bisa saja lepas sementara waktu, bahkan juga selamanya ke orang lain. Yang sementara itu karena digadaikan, yang lepas kerena dijual. Makna kata pusaka dan menggadai/menjual sebenarnya berlawanan. Namun, keduanya bisa ‘didamaikan’ karena keadaan. Di Minangkabau, harta pusaka (tinggi) menyangkut soal sumber daya ekonomi dan muruah kaum di tengah nagari.
Di Minangkabau, ada ungkapan pusaka (tanah) ‘bisa’ digadaikan karena tiga hal: ‘mayik tabujua di tangah rumah’ (‘mayat terbujur di atas rumah (gadang); ‘rumah gadang katirisan’ (‘rumah gadang yang tiris atau rusak’); dan ‘gadih gadang indak balaki’ (perempuan dewasa yang belum bersuami’). Sebenarnya ada lagi kondisi keempat: mambangkik batang tarandam .
Menggadaikan pusaka bersifat darurat. Misalnya, Ungkapan ‘mayat terbujur’ tidak hanya soal penyelenggaraan jenazah yang terkendala. Ada “kematian” lain yang perlu diatasi, yaitu matinya ‘pikiran’ anak kemenakan karena tidak mengenyam pendidikan. ‘Rumah gadang ketirisan’ tidak hanya tentang kerusakan fisik rumah, tetapi juga soal perbaikan pendidikan sosok penerus dalam kaum. Dengan alasan tersebut, harta pusaka ‘dapat’ digadaikan. (Awwali, 2015).
Ungkapan di atas lebih banyak soal nasib kemenakan dan perempuan dalam kaum agar tidak terlantar karena terbatasnya sumber daya ekonomi, dan pendidikan.
Aib Menggadai Karena Kepentingan Pribadi
Sudah sering terjadi orang menggadaikan pusaka tanpa sebab di atas. Desakan ekonomi dan gaya hidup bisa membuat orang nekad melakukannya. Hal itu terjadi sepihak, sudah terjadi maka baru diketahui kerabatnya. Biasanya si penggadai (mamak) tidak memiliki saudara kandung perempuan. Namun, ia mungkin masih ada kemenakan, anak dari sepupu perempuan. Konvensinya, kemenakan itu akan meperoleh hak mengelola warisan kalau mamak itu meninggal.
Bagi oknum tertentu, menggadai sawah adalah cara pintas mendapatkan uang, biasanya kepada orang luar kaumnya. Ini acaman bagi keberadaan pusaka di balik kepentingan pribadi. Ia mungkin tidak perduli dengan besarnya tebusan. Kemenakannya (perempuan) dianggap akan bisa menebusnya, yang ironisnya akan mewarisi harta pusaka itu nantinya. Jika tidak tertebus, pusaka akan tersandera, bahkan bisa lepas terjual kepada orang lain. Statusnya tidak bisa dikembalikan. Risiko tersandera akan bertambah apabila gadai ditambah lagi atas objek gadai yang sama demi uang segar. Ini akan memperpanjang masa penguasaan pusaka di tangan orang lain. Beban tebusannya pun semakin besar dan berat.
Seolah ada pola bahwa seorang mamak, yang tanpa saudara perempaun kadung selain sepupunya, akan menyerahkan harta pusaka bagiannya kepada kemenakan paling dekatnya dengan ‘syarat’ terselubung itu. Misalnya dengan menebus pusaka yang telah digadaikannya kepada orang lain. Dalam peralihan pusaka tinggi itu ada campur tangan kepentigan pribadi dan tidak ‘gratis’. Lebih parahnya, pusaka itu bisa sengaja dijual. Dengan demikian, kemenakan itu tidak memperoleh haknya secara adat apabila gadai tidak bisa ditebus. Konvensi bahwa harta pusaka (tinggi) tidak boleh dijual itu dilanggar. Amanah dari para nenek moyang yang meneruka lahan untuk kaumnya diabaikan.
Gadai tanpa kendali bisa menjadi catatan buruk kaum tersebut. Tanah pusaka bagi generasi penerus dalam kaum bisa terancam berpindah tangan. Pada akhirnya mereka kehilangan modal sosial dan ekonomi. Keberadaan harta pusaka tinggi berati muruah bagi kaum. Kehilangannya dapat menimbulkan disharmoni dalam kaum.
Dalam kutipan sebuah novel Wisran Hadi Orang-orang Blanti disebutkan tentang penggunaan harta pusaka yang harus menuruti sebab-sebab mendasak yang membolehkannya. Namun, jika ada yang sampai menjual, itu jelas kepentingan pribadi sehingga menjadi aib dan malu. “Apalagi membagi-bagi untuk kepentingan pribadi. Satu hal yang sangat memalukan bagi suatu kaum apabila mereka menjual tanah pusaka. Mereka akan malu turun temurun walau tidak dipermalukan.” (Hadi, 2000, pp. 42–43).
Pada kenyataan, banyak contoh terjadi, bahkan ada mamak dan kemenakan terlibat kekerasan bertaruh nyawa karena hak dan harta pusaka.***