
Ada perang bhatin antara Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Padang. Sudah lama terasa, namun kedua OPD itu, berbeda gaya. Bapenda berprinsip bagaimana Pendapatan Asli Daerah (PAD), meningkat. Sementara, Sat Pol PP terus berburu, dengan dalih tempat itu tak punya izin dan berbau maksiat
Padahal, pajak hiburan merupakan tempat strategis untuk mendatangkan PAD. Karena, pajak hiburan itu mencapai 75 %. Dan, tertinggi dibanding pajak lainnya. Ini terlihat dari Perda No. 4 Tahun 2011, Tentang Pajak Hiburan. Bab II menyebutkan nama, objek, subjek dan wajib pajak.
Pasal 2, berbunyi dengan nama pajak hiburan dipungut pajak atas penyelenggaraan hiburan dengan memungut bayaran. Pasal 3 ayat 1, berbunyi, objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Ini diperkuat Bab III, Dasar Pengenaan Tarif dan Cara Penghitungan Pajal. Pasal 6 menyebutkan, besarnya tarif pajak yang dikenakan untuk masing masing objek pajak sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat 2.
Rincian pajak hiburan, untuk tontonan film 10%, pagelaran musik, tari dan busana 20%, kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya 35%, pameran 10%, diskotik, karaoke, klab malam, music room, cafe musik dan sejenisnya 75 %, sirkus, akrobat dan sulap 10%, permainan bilyard 20%, golf dan bowling 25%.
Selanjutnya, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan 20 %, pacuan kuda 10 %, mandi uap/spa 35 %, panti pijat dan refleksi 10%, pusat kebugaran (fitnes centre) 15%, pertandingan olahraga 10 %. Nah, dilihat dari besaran pajak yang diterima paling tinggi pajak diskotik, karaoke, klab malam, music room, cafe musik dan sejenisnya mencapai 75 %.
Menariknya, pajak tertinggi yang bisa meningkatkan PAD ini, malah sering jadi sasaran razia Sat Pol PP. Memang yang dirazia itu, alasanya ditempat karaoke, music room dan cafe musik yang tak punya izin. Dan, juga melebihi jam operasional. Psikologisnya, berpengaruh kepada tempat karaoke, musik room dan cafe musik yang punya izin.
Razia itu, menjadi momok yang menakutkan bagi tamu. Meski, di karaoke, musik room dan musik cafe yang punya izin. Bayangkan mereka, saat razia disaksikan keramaian dan sorotan kamera membuat trauma. Apalagi, pemandu karaoke, tentu ada kegamangan untuk keluar. Sebab, Sat Pol PP bagi mereka sosok yang menakutkan. Akibatnya, razia itu berpengaruh pada tamu yang datang dan berimbas kemasukan pemilik hiburan itu.
Sepinya tempat itu, berimbas juga kepada PAD. Karena, setiap makanan, minuman, tempat, room dibayar ada billnya. Dan, ada persentase untuk PAD. Itupun tertera secara online di komputer. Wajar saja, ini menjadi polemik Sat Pol PP dan Bapenda. Dan, ini menjadi perang urat syaraf dua OPD. Padahal, dirazia itu, merupakan pajak tertinggi yang mampu menaikkan PAD.
Sisi lain, karaoke, music room dan music kafe yang tak punya izin, menjadi ladang bagi oknum tertentu. Sebab, juga bisa menghasilkan Pendapatan Asli Diri Sendiri (PADS). Tak bisa dipungkiri, setiap tak memiliki izin, pasti ada pembeking dibelakangnya. Lalu, bagaimana solusinya agar dunia hiburan tetap jalan dan PAD makin meningkat.
Bisa juga yang tak punya izin, juga diwajibkan memakai bill dan ada persentase untuk daerah, bukan untuk oknum. Izin yang menjadi masalah selama ini, disebabkan lokasi tak boleh berdekatan dengan mesjid/mushalla, sekolah dan rumah warga dan punya lahan parkir, perlu dievaluasi. Daripada razia terus, berpengaruh kepada tempat hiburan punya izin dan menguntungkan oknum, kenapa tidak dibenahi.
Ingat, Kota Padang, banyak dikunjungi tamu berbagai kegiatan. Baik dari provinsi lain, maupun kabupaten/kota di Sumbar. Mereka datang ke Padang, tentu mencari tempat hiburan, melepas rasa letih dan kelelahan. Namun, keinginan mereka tertahan, karena seringnya razia.
Untuk apa pajak ini tertinggi menghasilkan PAD, sementara ruang gerak pengusaha dunia hiburan ini, terhalang oleh razia yang membuat tamu dan pemadu karaoke enggan datang. Perlu kita pikirkan, kalau ingin meningkatkan PAD. 75 % lo, angka tertinggi dibanding pajak hiburan lainnya. Bersambung.
Penulis
Novri Investigasi