Bagurau Saluang dan Dendang yang Hampir Lekang oleh Waktu

Spread the love

Mulyadi
Peneliti BRIN
 

Seni bagurau saluang dan dendang (BSD) cukup populer di Sumatra Barat.

Sepertinya hampir semua orang mengenalnya. Apalagi sekarang mudah ditonton dari HP. Dari dulu juga sekarang, pertunjukan langsungnya perlu ditunggu, sebab belum tentu juga sering digelar.

Seiring waktu, seni hiburan ini mengalami perubahan, hampir lekang oleh waktu.

Seni BSD berisi pertunjukan berdendang pantun, diiringi saluang (sejenis seruling). Setidaknya perlu dua tukang dendang, dan seorang tukang saluang.

Biasanya mereka berpanggung di acara dan perhelatan, tetapi ada juga di kaki lima. Pertunjukannya  setelah waktu Isya hingga selepas dini hari.

Menjelang tengah malam, pantunnya bercorak gembira, jenaka, cemooh, sindiran, atau bergurau (bagurau).

Suasana itu disukai penonton yang muda maupun tua.  
Mulai pukul 24.00, pantunnya bercorak parasaian.

Ini lebih disukai penonton tua yang setia. Pantun tengah malam tidak lagi identik dengan bagurau, tetapi kembali ke dasar berdendang : pantun parasaian dari hidup yang tidak mudah.

Namun, suasana riang bagurau tetap ada. Penonton tetap bahagia.  

Live BSD penuh keakraban dan gelak canda. Di situ seorang janang. Ia menghubungkan pesan penonton ke pendendang.

Satu tema pantun boleh dipesan, di secarik kertas ataupun dibisikkan, si janang menyampaikannya, dengan sejumlah uang (saweran) dari pemesan, kepada si tukang dendang.

Uniknya, di masa jaya-jayanya BSD ada pula kelompok pehobi fanatik. Di berbagai BSD mereka rela hadir, tak peduli jauh atau dekat.

Pagurau adalah julukan bagi mereka yang berlima hingga 10 orang. Bahkan kelompok mereka punya julukan sendiri.

Orang mapan seperti pedagang atau pemilik usaha adalah latar mereka. Demi bepergian dan saweran ke BSD, uang tidaklah jadi soal.
Namun, BSD sekarang menghadapi saingan media hiburan lain. Akankah BSD tetap bertahan dan digemari?
 
Tahap kemunculan
Kemunculan saluang dendang diperkirakan telah ada sejak tahun 1960-an, hingga muncul ke gelanggang kaki lima. Ketika itu ekonomi sulit, terpuruk pasca-pergolakan PRRI. Hadirnya (bagurau) saluang dan dendang di kaki lima di pasar-pasar bermotif menopang ekonomi sang seniman di masa itu.

Kiprah BSD terus masuk pula ke corong RRI (Sukmawati, 2008). Hal itu terkait sikap seniman bagurau tertentu.

Mereka menolak pertunjukannya diadakan di pasar-pasar dan kaki lima karena dianggap merendahkan seni tersebut. 

Saluang dendang, kemudian BSD, setidaknya berkembang dalam tiga tahap. 

Pertama, ketika banyak kaum muda laki-laki menghibur diri di nagari-nagari dengan belajar ber-saluang dan berdendang sambil berpantun.

Latihannya masih di tempat terpencil seperti di dangau tengah sawah. Mereka ini ada di daerah luhak Agam, Tanah Datar, dan Lima Puluh Koto.

Kedua, kelompok kesenian itu mulai keluar dan diterima masyarakat. Mereka tampil di pakan (pasar rakyat sekali sepekan), terutama di tiga daerah luhak tersebut.

Hiburan itu dinamakan bagurau dendang di kaki lima, yang juga disebut bagurau lapiak (di atas tikar tanpa panggung khusus). Tampilnya di emperan toko atau satu tempat terbuka di pasar (Oktavia, 2017).

Ketiga, bagurau saluang dan dendang sudah diundang tampil di berbagai acara. Biasanya perhelatan perkawinan, pelantikan penghulu, acara keramaian dan hiburan, ataupun hanya sekadar acara hiburan mandiri oleh masyarakat.
 
Dilema pendendang perempuan pada masa awal

Kepiawaian perempuan pendendang membuat larik-larik lagu dari pantun sampai beratus-ratus menjadi daya tarik bagi penonton.

Pendendang perempuan profesional BSD sudah lazim saja. Tukang saluangnya tetap laki-laki. Tetapi, kalau pendendangnya laki-laki dianggap kurang ‘menarik’ bagi penonton yang kebanyakan laki-laki.

Namun, pada mula kemunculan seni ini pendendang itu laki-laki.
Dulu, untuk menjadi pendendang perempuan tidaklah mudah.

Sekitar tahun 1960-an, perempuan dalam pertunjukan masih dianggap tabu menurut nilai-nilai perempuan Minangkabau dan agama Islam.

Juga kaum mamak dari calon pendendang profesional menentang keras kemanakan mereka terjun ke sana. Sebab, kerja hiburan malam pulangnya pagi dipandang miring, jadi aib dan bikin malu saja.

Di masa sulit itu, perempuan pendendang dapat bertahan walau sekadar jadi anak dendang (padendang magang).

Lama-lama mereka menjadi pendendang mahir dan terkenal. Ada dua faktor keberhasilan menjadi pendendang : kemauan kuat karena ketertarikan; dan tuntutan ekonomi untuk mengangkat nasib dan ekonomi keluarga.

Selain itu, menjadi profesional karena orang tua mereka juga pendendang andal.
Pada masa kini, hampir tidak adanya pendendang laki-laki disebabkan hilangnya minat kaum muda.

Sebaliknya, regenerasi pendendang perempuan lebih baik. Buktinya, semua pendendang di semua pertunjukan BSD adalah perempuan.

Bahkan, ada yang masih berumur 15 tahun (Sukmawati, 2006:116).
 
Improvisasi BSD,  perubahan esensi 
Kalah pamor dan persaingan dari bentuk hiburan lain mendorong seni BSD menuju kepraktisan dan mengikuti trend seperti dalam budaya populer. 

Perubahan di antaranya dari segi pewarisan seni BSD, nilai estetika pantun, esensi format asli BSD ke bentuk populer yang dianggap menggeser esensi saluang dendang awal.

Misalnya, dari segi Bobot larik pantunnya yang merosot, dendang masa kini ada yang berbau erotis.

Sesepuh seni ini menganggap nilai pantun yang sebenarnya dikorbankan. Dalam pandangan ideal, pendendang hendaknya orang yang paham akan adat, budaya, agama dan sistem sosial.

Format BSD juga berubah ke bentuk lain, seperti variasi saluang dangdut, bagurau oyak, dan saluang orgen (Alexander, 2019).

Perubahan itu juga menggerus nilai-nilai tradisi awal kemunculan BSD dengan menjaga nilai kesopanan dan estetika musik dan estetika pantun Minangkabau.

BSD dengan saluang orgen (musik orgen tunggal) dipandang sebagai pergeseran  besar dalam bagurau : nuansanya sudah jauh berbeda; pendendangnya tidak sekuat  seperti dulu, tetapi berlatar seni biduan dangdut orgen tunggal.

Penampilan mereka lebih eksentrik dan  sensual. Bagi penikmat biasa, hal itu tidak menurunkan minat, tetapi bagi para pegiat BSD yang konservatif, melihat perubahan mencolok dari tradisi BSD yang masih ‘asli’ (Alexander, 2019).

Sebab perubahan ialah, pertama, persaingan seni tradisional versus pop kontemporer.

Kedua, waktu luang sedikit serta tuntutan ekonomi penonton.

Ketiga, anggapan negatif kaum muda sementara hiburan online lebih menarik bagi mereka.

Mungkin, dengan perubahan dan penyesuaian di tangan generasi selanjutnya, BSD akan bertahan di tengah keadaan yang hampir lekang oleh waktu walaupun mengorbankan keaslian dan kesederhanaan awal kemunculannya.***

More From Author

USB Bangunan SMK N 1, Air Bangis Diresmikan Gubernur Itu, Tak Difungsikan, Kondisinya Memprihatinkan

DARI SI AMPEK BALEH HINGGA PAUH DAN KURANJISEBUAH IDENTITAS

9 thoughts on “Bagurau Saluang dan Dendang yang Hampir Lekang oleh Waktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ADVERTISEMENT