DARI SI AMPEK BALEH HINGGA PAUH DAN KURANJISEBUAH IDENTITAS

Spread the love

Oleh
Musfeptial Musa

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

1.Pendahuluan
Kecamatan Pauh dan Kecamatan Kuranji yang sekarang termasuk ke dalam geografis Pemerintahan Kota Padang memiliki historis yang cukup panjang.

Sebelum bernama Pauh dan Kuranji, kedua wilayah ini memiliki nama Kecamatan Pauh V dan Kecamatan Pauh IX dan termasuk bagian dari wilayah Kabupaten Padang Pariaman.

Sehingga pada masa itu, penyebutan wilayah ini adalah Kecamatan Pauh V, Padang Pinggir Kota, Kabupaten Padang Pariaman dan Kecamatan Pauh IX, Padang Pinggir Kota, Kabupaten Padang Pariaman.

Jauh sebelum kedua nama tersebut digunakan, kedua wilayah serumpun (bersaudara) ini bernama Si Ampek Baleh. Dinamakan Si Ampek Baleh karena wilayah ini dihuni oleh empat belas suku yang sama-sama turun dari wilayah Solok.

Selain itu, kedua wilayah tersebut merupakan daerah yang cukup memiliki arti dalam perjuangan kemerdekaan.

Daerah ini telah melahirkan banyak pejuang di masa pergolakan melawan penjajah.

Bahkan, pada masa pergerakan kemerdekaan sebutan Harimau Kuranji merupakan label yang melekat pada pejuang yang berasal dari daerah ini.

Banyak catatan yang telah mengungkap perjuangan masyarakat Pauh V dan Pauh IX (selanjutnya ditulis Pauh). Rusli Amran dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Palakat Panjang mengulas bagaimana perjuangan masyarakat ini dalam mengusir penjajah.

Hingga pada satu bagian dari buku tersebut, Rusli Amran menyebut bahwa Pauh adalah Kota Pahlawan.

Begitu juga dengan Navis dalam bukunya Alam Terkambang Jadi Guru, bahwa perjuangan masyarakat Pauh dalam mengusir penjajah tidak pernah padam.

Bahkan, Navis mencatat selama kurun waktu 1665 hingga 1740 lebih dari 20 kali serangan besar yang dilakukan rakyat Pauh untuk melawan Belanda.

Begitu juga dengan buku Biografi Hasan Basri Durin yang berjudul Catatan Seorang Pamong, ditulis oleh Abrar Yusra dan Hasril Chaniago pada halaman 10 dijelaskan bahwa pergolakan masyarakat Pauh terhadap penjajah (1650-an) disejajarkan dengan parang Batipuh.

Bahkan, satu fakta sejarah yang tak terbantahkan, hari lahirnya Kota Padang berangkat dari penyerangan yang dilakukan oleh masyarakat Pauh terhadap Loji Belanda pada 7 Agustus 1669.

Perang ini telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar di pihak Belanda.

Bahkan, keheroan Masyarakat Pauh juga terekam dalam bagian roman Hulubalang Raja yang ditulis oleh Nur Sutan Iskandar.

2.Eksistensi Budaya di Pauh
a. Dendang Pauh
Dendang Pauh merupakan satu di antara sekian banyak sastra lisan yang berkembang di Minangkabau.

Selain Dendang Pauh ada Rabab Pesisir di Pesisir Selatan, Indang di Pariaman, Saluang Panjang dan Salawat Dulang diwilayah Luhak, serta Basilamin di 50 Kota, dan lain-lain.

Sastra lisan tersebut memiliki karakter dan ciri masing-masing.

Setidaknya, sastra lisan tersebut memiliki wilayah penyebaran masing-masing.

Begitu juga dengan Dendang Pauh. Sastra lisan ini berkembang di wilayah Pauh (Kecamatan Pauh dan Kuranji sekarang).

Dendang Pauh memiliki ciri khas sendiri. Sastra lisan ini menggunakan saluang sebagai musik pengiring dendang.

Saluang yang digunakan untuk mengiringi Dendang Pauh adalah saluang yang tidak ditutup kedua lobangnya.

Bunyi akan keluar dari lobang bagian bawah yang tidak ditutup setelah tukang saluang meniup bagian atas.

Irama yang terkenal di Dendang Pauh adalah irama lambok malam.

Satu sampiran yang hampir tetap ada pada setiap pertunjukan sastra lisan Dendang Pauh adalah:
/Salasa balai banda buek /
Jerak-bajerai pakadaian/..

Sebagai daerah rantau dari Kubuang Tigo Baleh, Pauh Lima dan Pauh Sembilan (selanjutnya Pauh Lima disebut Pauh dan Pauh Sembilan disebut Kuranji) sesuai dengan nama secara administrasi Pemerintahan Kota Padang) tentu tidak dapat dipisahkan dengan Kubuang Tigo Baleh secara budaya.

Satu di antara aspek budaya tersebut adalah tradisi saluang.

Di daerah Kubuang Tigo Baleh, ada genre sastra lisan yang memiliki kemiripan dengan Dendang Pauh, yaitu Bansi Rang Solok.

Sementara itu, aktifitas bersaluang di Pauh dan Kuranji disebut dengan dendang Pauh. Kedua bentuk tradisi tersebut tentu tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Setidaknya, ada benang merah yang bisa menghubungkan kedua tradisi saluang ini.

Baik dari segi irama saluangnya maupun dari teks kaba atau cerita.

Kemudian, persamaan lain keduanya adalah, pada Dendang Pauh dan Bansi Rang Solok dimainkan oleh dua orang.

Seorang tukang saluang dan seorangnya lagi sebagai tukang kaba.

Ini juga yang membedakan kedua genre sastra lisan Minangkabau ini dengan saluang Panjang, tradis basaluang yang berkembang di tiga luhak di Minangkabau, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak lima Pulu Kota.

b. Silek Pauh
Silek Pauh sejajar dengan aliran silek lainnya yang ada di Minangkabau.

Setidaknya di Minangkabau kita bisa menyebut nama Silek Kumango, Silek Tarok, Silek Agam, Silek Lintau dan lain-lainnya.

Silek Pauh sebagai seni bela diri yang berkembang di Pauh mengenal nama gerakan sendiri, seperti erak kabau gadang dan langkah ampek.

Bahkan, silek Pauh merupakan silek yang lebih mengutamakan gerakan kaki, selain tangan.

Menariknya, di daerah ini juga dikenal empat belas tapian anak nagari atau dikenal juga dengan istilah pusat-pusat persilatan (sasaran ), seperti Kubu Durian, Binuang, Kuranji, dan lain-lain.

Silek Pauh berkembang di kanagarian Limau Manih, Kenagarin Pauh V, Kenagarian Pauh IX.

Di daerah ini pada masa lalu banyak Tuo-Tuo silek yang biasanya mengajarkan silek kepada generasi Muda.

Pada saat sekarang ini, tentu tuo-tuo silek mulai berkurang sesuai perkembangan zaman.

c. Batagak Gala Marapulai
Batagak gala marapulai merupakan satu tradisi yang berkelanjutan di daerah Pauh (Pauh V dan Pauh IX).

Hal ini agak berbeda dengan tradisi yang berkembang di Minangkabau lainnya.

Di daerah darek, biasanya gelar akan diberikan kepada marapulai pada saat pihak perempuan datang untuk menjempuk marapulai.

Tidak demikian halnya dengan tradisi batagak gala marapulai di Pauh.

Di Pauh, batagak gala marapulai harus dilewakan. Artinya, ada acara pasambahan yang dilaksanakan untuk acara batagak gala marapulai tersebut.

Acara batagak gala biasanya dilaksanakan pada Sabtu malam Minggu.

Batagak gala marapulai, biasanya dihadiri oleh Penghulu suku yang ada di Pauh, ninik mamak, anak Muda, dan urang sumando.

Biasanya, acara pasambahan batagak gala dipimpin oleh seorang bentan (juaro) yang berperan membawakan pasambahan batagak gala.

Perlengkapan yang harus ada ketika tagak gala dilaksanakan adalah carano lengkap dengan sirih, pinang, sadah, gambie dan tembakau.

Selain Itu, juga harus ada jamba yang berisi nasi lamak lengkap dengan apik ayam dan telur.

Sementara itu, marapulai harus memakai pakaian penganten laki-laki Minang secara adat.

Pada bagian akhir pasambahan, marapulai berkata sambil memegang galeta oi urang nan di ujuang nan jo pangka ambo banamo si A, diturunkan gala dek mamak ambo Malin Mudo mintak diimbauan ujuang jo pangka.

Orang yang hadir akan memanggil oi Malin Mudo. Marapulai akan menjawab : Yo ambo.

Semenjak itu melekatlah gelar tersebut pada si marapulai.

d. Bahasa Minang Dialek Pauh.

Bahasa Minang merupakan bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat Minangkabau.

Pemakai bahasa ini tidak hanya tersebar di Sumatera Barat saja akan tetapi juga sampai ke daerah Riau dan Jambi.

Di Padang sendiri, bahasa Minangkabau juga digunakan sebagai bahasa komunikasi keseharian masyarakat.

Di daerah Pauh bahasa Minang yang digunakan memiliki ciri tersendiri.

Bunyi huruf u dengan bunyi tebal dan tanpa adanya bunyi luncuran merupakan ciri utama dialek Pauh.

Berikut beberapa contoh penulisan secara fonetis kata-kata Minang dialek Pauh

Fonetis dialek Pauh Penyebutan oleh suku Minang lainnya
/dudu?/duduak
/kalumbu?/ kalumbuak
/pauh/ pauah
/bali?/baliek
/baruh/baruah
/lubu?/ lubuak
/namuh/namuah
/jauh/ jauah
/suruh/suruah
/tujuh/ tujuah

  1. Penutup
    Sebagai bagian dari daerah rantau Minangkabau, Pauh memliki identitas suku yang membedakannya dari suku lainnya di Minangkabau.

Walaupun masyarakat Pauh berasal (turun) dari daerah Solok dan sekitarnya atau Luhak Kubuang Tigo Baleh, namun ketika ia membuka (manaruko) wilayah tersebut masyarakat Pauh membentuk identitas sendiri yang sampai sekarang tetap terpelihara dan menjadi identitas lokal yang harus dibanggakan oleh masyarakat Pauh.

Dalam konsep kebudayaan yang lebih luas, masyarakat Pauh telah melahirkan kearifan lokal komunal yang semestinya harus tetap terpelihara sebagai jadi diri masyarakat Pauh.

Perkembangan zaman telah berdampak pada eksisitensi budaya dan tradisi di Pauh.

Eksisitensi sebagian budaya yang menjadi jati diri masyarakat Pauh menjadi mencemaskan. Silek Pauh pun seakan tinggal cerita.

Gelanggang-gelanggang Silek Pauh, seperti Binuang Sakti, Alang Babega, Harimau Kuranji, Beruang Sakti, dan lain-lain sepertinya hanya jadi kenangan.

Begitu juga dengan Dendang Pauh. Dendang Pauh seakan kehilangan penikmatnya (audience).

Di sisi lain, para pendendang sudah banyak yang yang meninggal dunia. Kalaupun ada, mereka sudah tua. Irama Lambok malam dan pado-pado hanya jadi cerita.

Tidak banyak lagi generasi muda yang mewarisi kedua tradisi ini.

Satu kata kunci yang harus segera dilaksanakan. Masyarakat Pauh harus segera membangkit batang tarandam.

More From Author

Bagurau Saluang dan Dendang yang Hampir Lekang oleh Waktu

Menyoak Proyek Longsoran di Jalan Nasional Padang Panjang – Bukittinggi, Akhir Tahun Masih Dikerjakan

9 thoughts on “DARI SI AMPEK BALEH HINGGA PAUH DAN KURANJISEBUAH IDENTITAS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ADVERTISEMENT