Mulyadi
Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan-BRIN

Masyarakat Minangkabau menerapkan sistem matrilineal terbesar di dunia (Schrijvers & Postel-Coster, 1977). Jeffrey Hedler mengemukakan, orang Minang menggunakan istilah matriakat, (matriachaat, Belanda), tentang sistem garis keturunan, penurunan warisan, serta pola tinggal matrilokal.
Ketiga ini merupakan bagian penting dalam budaya Minangkabau (Hadler, 2010, p. 9).
Sistem sosial matrilineal dan merantau menjadi tema utama studi tentang Minangkabau.
Sejak abad ketujuh belas dan delapan belas isu matrilineal belum menjadi penentu utama identitas etnik Minangkabau. Lalu, sejak tahun 1970-an para sarjana memberi perhatian besar tentang matrilineal, dasar masyarakat Minangkabau sebagai hasil dari gerakan perempuan sejak tahun 1970-an.
Otomatis bagi masyarakat Minangkabau sendiri matrilineal dan merantau adalah pembentuk utama identitas Minangkabau masa kini (Andaya, 2000).
Seperti pendapat Andaya di atas, sejak itu merantau memiliki signifikansi dengan gerakan perempuan tahun 1970-an. Mereka mulai banyak mengembangkan diri menuju perantauan.
Dengan demikian, topik perempuan sejak tahun 1970-an tambah lebih penting dikaji pakar. Sejak itu hingga kini mereka telah mengalami perubahan dan tantangan baru dalam masa pembangunan dan modernisasi.
Perlahan status mereka menuju sama dengan kaum laki-laki serta pembentukan identitas keminangan melalui merantau semakin tampak.
Perubahan pola merantau yang melebar di kalangan perempuan dalam beberapa dekade belakangan turut memberikan pengaruh akan keberlanjutan sistem sosial yang ideal dari masa lalu. Misalnya, perempuan merantau karena berbagai alasan, seperti ikut suami; pendidikan atau karir; atau bekerja di luar negeri.
Penyebabnya tidak selalu tentang kesetaraan, tetapi tuntutan keadaan.
Absennya Limpapeh Rumah Gadang
Salah satu fenomena dari absennya kaum perempuan bundo kanduang ialah rumah gadang yang tinggal hingga menjadi lapuk. Sementara itu, bagi laki-laki yang telah menikah dengan anggota keluarga besar dari keluarga lain, rumah gadang tetap menjadi tautan yang mengikatnya (Hadler, 2010, p. 10).
Ketiadaan kaum perempuan di rumah gadang bersama dalam satu rumah sebagai orang yang saling berhubungan sebagai kerabat dari nenek turut mempengaruhi eksistensi mereka.
Pada tataran prinsip, matrilineal menampilkan gagasan yang berlaku dengan adanya unsur penting dalam sistem kekeluargaan, seperti adanya rumah gadang tradisional bagi keluarga maternal.
Pada masa kini tidak semua keluarga saparuik yang masih memiliki kekhasan lengkap dengan unsur rumah gadang sebagai simbol tempat seseorang terikat dengan rumah keluarga ibunya.
Rumah gadang secara umum menyimbolkan identitas sebuah keluarga di nagari atau satuan teritorial masyarakat adat. Ada nagari yang memiliki rumah gadang bagi setiap keluarga maternal dari setiap suku atau klan.
Rumah gadang kebanyakan berada di daerah darek atau daerah pusat Minangkabau (luhak nan tigo) dan sekitarnya.
Walaupun ada di tempat lain yang masih menerapkan adat secara konsisten, justru rumah gadang tidak lagi terdapat secara seginfikan.
Secara fisik, bangunan rumah gadang tidak lagi terlihat. Namun, simbol dan fungsi rumah gadang sebagai rumah ibu kemudian masih tetap diupayakan, tetapi dalam rupa yang tidak sama lagi.
Keberadaan rumah maternal dalam bangunan rumah biasa pada masa kini yang berdiri masih dalam tanah pusaka maternal yang telah dibagi-bagi.
Rumah gadang seakan menjadi simbol daripada fungsional.
Akan tetapi, kebanyakan anggota satu suku dalam rumah gadang yang terdiri atas kerturunan dari nenek bersaudara banyak yang memilih membangun rumah baru di tempat lain atau di dekat rumah gadang.
Bahkan dalam banyak yang ditemui di lapangan di daerah yang masih memiliki banyak rumah gadang, fungsi rumah gadang masih dipelihara sebagai tempat berlangsungnya prosesi adat, seperti perkawinan, kematian, ataupun acara lainnya.
Rumah gadang seakan menjadi simbol daripada fungsional.
Secara umum rata-rata kondisi rumah gadang mengalami degradasi.
Faktor usia, biaya pemeliharaan, dan faktor risiko bencana (kebakaran) menjadi catatan penting akan kelestariannya. Selain itu, yang lebih penting lagi kehadiran kaum perempuan yang menjaganya.
Jika mereka hadir, denyut kehidupan matrilineal dan peran laki-laki sebagai mamak akan lestari.
Rumah gadang yang diitnggalkan oleh para bundo kanduangnya ke rantau sebenarnya tetap mengharapkan mereka kembali hadir walaupun mereka telah menua***