
Padang, Investigasi_Riaknya sudah lama terdengar. Namun, terkesan terjadi pembiaran. Penggunaan material ilegal, menyertai proyek Embung Lasuang Batu. Namun, riak itu, tak terdengar, karena mereka diduga terlihat diam membisu
Namun, akhirnya terbongkar. Karena dipersidangkan ada yang bersuara. Sidang digelar Rabu (7/5/2025) itu terungkap proyek optimalisasi intake dan pipa transmisi air baku Embung Lasuang Batu di Kabupaten Solok Selatan, menjadi pemicu
Menghadirkan terdakwa AKP Dadang Iskandar mantan Kabag Ops Polres Solok Selatan, terkuak persoalan yang terjadi dilapangan. Mengejutkan semua pihak insiden berdarah pada 22 November 2024 lalu, saat ia menembak mati rekannya sendiri, Kompol Ryanto Ulil Anshar, Kasat Reskrim Polres Solsel.
Semua bermula saat tim Satreskrim Solsel menangkap dua sopir truk pengangkut material pasir dan batu (sirtu) yang hendak dikirim ke lokasi proyek Embung Lasuang Batu. Material tersebut diduga berasal dari lokasi pertambangan ilegal yang tak memiliki izin resmi. Proyek embung itu sendiri berada di bawah tanggung jawab Balai Wilayah Sungai Sumatera V (BWSS V) Padang, dan dikerjakan oleh rekanan kontraktor CV. Lammarisi dengan nilai kontrak fantastis: Rp 6,8 miliar lebih.
Kronologis
Persoalan mencuat disertai emosi tak terkontrol, disebabkan
dua sopir diamankan, Dadang Iskandar, disebut-sebut memiliki kedekatan dengan pelaksana proyek, turun tangan. Ia mencoba menjalin komunikasi dengan Ryanto agar kasus pengangkutan material ilegal ini tak diperpanjang. Namun, negosiasi berjalan buntu.
“Upaya persuasif tidak membuahkan hasil, dan akhirnya terjadi penembakan dari jarak dekat yang menewaskan Kompol Ryanto seketika,” ungkap jaksa di persidangan.
Tragisnya, amarah Dadang tak berhenti di sana. Beberapa waktu setelah insiden berdarah itu, ia juga menembaki rumah dinas Kapolres Solsel saat itu, AKBP Arief Mukhti, sebagai bentuk pelampiasan.
Material Tambang Ilegal Itu, Jadi Pemicu
Kebenaran soal penggunaan material ilegal itu dikuatkan oleh pengakuan Dadang di depan majelis hakim. Ia menyatakan, pasir dan batu yang digunakan untuk pembangunan Embung Lasuang Batu berasal dari sumber yang tidak memiliki izin resmi alias tambang ilegal.
“Material itu ilegal, dan sudah jadi rahasia umum di lapangan,” ujar Dadang tegas.
Fakta ini diperkuat pernyataan Ricky Francois, kuasa hukum AKP Dadang Iskandar, kepada dirgantaraonline.co.id Ricky menyatakan kliennya hanya masuk terlalu dalam, pada praktik yang sebetulnya sudah sistemik di proyek-proyek pemerintah tertentu.
“Pak Dadang hanya jadi pion. Seharusnya dimintai pertanggungjawaban, mereka yang mengambil keuntungan besar dari praktik ini,” ujar Ricky.
Bungkam
Sampai berita ini diturunkan, belum ada satu pun perwakilan dari BWSS V Padang yang memberikan klarifikasi. Baik Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) maupun Kepala Satuan Kerja (Kasatker) proyek tampak memilih bungkam meski sudah berulang kali dikonfirmasi. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa ada upaya sistemik untuk menutup-nutupi penyimpangan dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Padahal, proyek embung yang dibiayai dengan anggaran negara semestinya tunduk pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Penggunaan material ilegal bukan hanya melanggar hukum pertambangan, tetapi juga merusak lingkungan dan mengindikasikan adanya praktik kolusi antara kontraktor dan oknum pejabat.
Pintu Masuk Kasus Serupa di BWSS V
Apa yang semula dianggap sebagai kasus kriminal antara nggota polisi kini berubah menjadi pintu masuk bagi pengungkapan skandal korupsi dalam proyek infrastruktur. Peristiwa ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap proyek pemerintah, serta keberanian aparat penegak hukum untuk tidak takut mengungkap keterlibatan aktor-aktor besar di balik layar.
Masyarakat kini menanti langkah tegas dari Kementerian PUPR dan aparat penegak hukum lainnya untuk mengusut tuntas kasus ini. Sebab, jika tidak, maka bukan hanya hukum yang dilecehkan, melainkan juga kepercayaan publik terhadap negara. Osmon/Nv