
Padang, Investigasi_Potret buram menyinari, persoalan Pasar Raya Fase VII. Bahkan, semakin kelam, disebabkan adanya permainan orang dalam. Wajah kusam lapak itu, terkuak saat inspeksi lapangan yang dilakukan Kamis (24/4/2025), Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Barat. Aroma tak sedap mulai terbongkar, sejumlah persoalan serius menggerogoti lemahnya pengelolaan distribusi lapak oleh Dinas Perdagangan Kota Padang.
Beragam persoalan pun muncul, mulai dari data tak valid, penempatan lapak yang misteri hingga minimnya ketegasan dalam menindak pelanggaran di lapangan.
‘Persoalan Lapak’
Pada inspeksi mendadak itu, kepala Ombudsman Sumbar, Adel Wahidi, mengupas, ada tiga laporan resmi yang masuk dari pedagang kaki lima (PKL).
Laporan tersebut berasal dari para pedagang yang sebelumnya menempati Fase VII namun harus direlokasi ke kawasan Imam Bonjol selama masa pembangunan. Mereka berharap bisa kembali ke tempat asal usai pasar rampung. Namun harapan itu, tinggal harapan, justru membalikkan keadaan
“Setelah Fase VII selesai dibangun, tentu wajar kalau mereka berharap kembali berdagang di sana. Tapi faktanya, mereka malah tak kebagian lapak. Padahal mereka adalah pihak yang terdampak langsung dari pembangunan,” kata Adel dengan nada serius.
Lebih mengkhawatirkan lagi, ditemukan kasus lapak yang telah melalui proses pengundian (looting) namun justru ditempati oleh orang lain yang tidak terdaftar sebagai penerima. Dari delapan pedagang yang mengadu, hanya tiga yang sudah berhasil menempati lapaknya. Lima sisanya? Masih menunggu, karena lapaknya sudah lebih dulu ‘dikuasai dan dimainkan orang dalam
Data Tak Valid, Ada Pihak Ketiga
Akar persoalan ini, kata Adel terletak pada persoalan klasik namun krusial: data. Ia menyoroti, pengelolaan data seharusnya menjadi wewenang penuh Dinas Perdagangan (Disdag), bukan diserahkan ke ketua pedagang atau pihak-pihak informal lain yang rawan konflik kepentingan.
“Kami mendapati data yang berubah-ubah. Ini persoalan integritas. Jika dibiarkan, bisa menimbulkan kecurigaan adanya praktik tidak adil. Penempatan lapak bukan perkara sepele, ini menyangkut hak hidup banyak orang,” ujarnya tegas.
Ia pun mendesak agar Disdag mengambil alih penuh pengelolaan data dan memperketat sistem pengawasan agar tidak ada celah permainan yang merugikan pedagang kecil yang seharusnya diprioritaskan.
Perwako Dicabut, Tidak Diikuti Tindakan Tegas
Masalah tak berhenti di situ. Ombudsman juga mencatat masih maraknya aktivitas perdagangan ilegal di area parkir depan Fase VII, meskipun Peraturan Wali Kota (Perwako) No. 438 tentang penataan PKL sudah dicabut. Beberapa pedagang buah masih bertahan di luar bangunan pasar, berdalih bahwa lapak mereka di dalam belum siap.
“Kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan. Tanpa ketegasan dari Pemko, kawasan ini akan kembali semrawut seperti dulu. Pasar itu ruang publik yang dinamis, dan kalau tidak dikelola secara disiplin, akan kembali dipenuhi pedagang liar,” kata Adel memperingatkan.
Dinas Perdagangan Janji Akan Bertindak
Menanggapi sorotan tajam dari Ombudsman, Kepala Dinas Perdagangan Kota Padang, Drs. Syahendri Barkah, mengakui adanya kunjungan dan laporan pedagang. Ia mengklaim akan memfasilitasi setiap keluhan dan siap menindaklanjutinya.
“Kami terbuka terhadap masukan dari Ombudsman. Keluhan para pedagang akan kami fasilitasi sesuai mekanisme,” ujarnya singkat.
Namun, hingga kini, belum ada langkah konkret yang diumumkan untuk menyelesaikan tumpang tindih data, atau tindakan terhadap lapak yang dikuasai secara tidak sah.
Transparansi dan Ketegasan Nyata
Gaduh di lapak di Pasar Raya Fase VII, semakin bergemuruh. Ini merupakan cermib adalah cerminan dari bagaimana pemerintah daerah mengelola ruang publik dan memperlakukan warganya yang menggantungkan hidup dari sektor informal. Ketika data tak lagi akurat, ketegasan tak dijalankan, dan keberpihakan menjadi kabur, maka keadilan pun menjadi barang mahal.
Diharapkan Pemko Padang bersikap tegas dan transparan. Jangan biarkan berlarut semakin carut marut, berujung kepercayaan publik benar-benar runtuh? Osmond/Nv